Kamis, 30 Maret 2017

Dasar Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologi sila-sila Pancasila



Dasar Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologi sila-sila Pancasila




Pengertian Ontologi
Ontologi menurut Aristoteles adalah ilmu yang menyelidiki hakikat sesuatu tentang ada atau keberadaan. Ontologi juga dikenal dengan ilmu tentang keberadaan sesuatu secara nyata, faktual, dan konkret. Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan) manusia, benda, alam semesta (kosmologi). Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai  filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asa yang berdiri sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis.
·         Pengertian Epistemologi
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas, dan validitas ilmu pengetahuan.
Secara epistemologi kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti pancasila telah menjadi suatu belief sistem, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh karena itu pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
·         Pengertian Aksiologi
Istilah Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran atau ilmu. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisiska suatu nilai. Nilai (value  dalam bahasa inggris) berasal dari bahasa Latin  valere yang artinya kuat, baik, dan berharga. Dalam kajian filsafat nerujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang  berguna, nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan, nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.
·         Dasar Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologi sila-sila Pancasila
Kesatuan sila-sila pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar omtologis, dasar epistimologis, serta dasar aksiologis dari sila-sila pancasila. Sebagaiman dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila pancasila adalah bersifat hierarkis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan kesatuan sila-sila pancasila itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistimologi, serta dasar aksiologi dari sila-sila pancasila ( Notonagoro, 1984: 61 dan 1975 : 52,57). Secara filosofis pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar  epistimologi, serta dasar aksiologis  sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan lain paham filsafat didunia.
  1. Dasar Ontologi (hakikat manusia) sila-sila pancasila
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila pancasila atau secara filosofis merupakan dasar ontologis sila-sila pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri, melainkan memiliki suatu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro 1975 : 23). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri sehingga tepatlah jikalau dalam filsafat pancasila bahwa hakikat dasar ontologis sila-sila pancasila adalah manusia.
Manusia sebagai pendudkung pokok sila-sila pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia adalah sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai mahluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai mahluk Tuhan Ynag Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai mahluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai mahluk Tuhan inilah maka secara hierarkis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai siloa-sila yang lainnya (Notonagoro, 1975 : 53).
Hubungan kesatuan antara negara dengan landasan sila-sila pancasila adalah berupa hubungan sebab akibat yaitu negara sebaga pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah sebagai sebab, adapun negara adalah sebagai akibat.
Sebagai suatu sistem filsafat landasan sila-sila pancasila itu dalam hal isinya menunjukkan suatu  hakikat makna yang bertingkat (Notonagoro, tanpa tahun : 7), serta ditinjau dari keluasannya memiliki bentuk piramidal.

2. Dasar Epistemologi (pengetahuan) sila-sila pancasila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dari kehidupan pancasila dalam pengertian  seperti yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan (belief system) yang telah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berarti filsafat telah menjelma menjadi ideologi (Abdulgani, 1998). Sebagai suatu ideologi maka pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu; 1) logos yaitu rasionalitas atau penalarannya. 2) pathos yaitu penghayatannya, dan 3) ethos yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996 : 3). Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka pancasila harus memiliki unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem filsafat.
Dasar epistemologis pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat pancasila (Soeryanto, 1991 : 50). Oleh karena itu dasar epistimologis pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistimologi  yaitu bangunan epistimologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996 : 32).
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu: pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia (Titus, 1984 : 20). Persoalan epistemologi dalam hubungannya dengan pancasila dapat dirinci sebagai berikut:
Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan pancasila dan susunan pengetahuan pancasila. Tentang sumber pengetahuan pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber pengetahuan pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dengan lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis pancasila.
Oleh karena sumber pengetahuan pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat istiadat serta kebudayaan dan nilai religius, maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila pancasila dengan pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.
Berikutnya tentang susunan pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu sistem pengetahuan maka pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila pancasila maupun isi arti pancasila . Susunan kesatuan sila-sila pancasila adalah hierarkhis dan berbentuk piramidal, dimana sila pertama pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya  serta sila kedua didasari sila pertama serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari oleh sila pertama dan kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat didasari oleh sila pertama, kedua dan ketiga serta menjiwai sila kelima, adapun sila kelima didasari dan dijiwai oleh sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Demikianlah maka susunan sila-sila pertama memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila pancasila. Susunan isi arti pancasila meliputi  tiga hal yaitu: pertama,  isi arti pancasila yang umum universal yaitu hakikat sila-sila pancasila. Isi arti sila-sila pancasila yang umum universal ini merupakan inti sari atau esensi pancasila sehimgga merupakan pangkal tolak derivasi baik dalam pelaksanaan pada bidang-bidang kenegaraan dan bidang kehidupan konkrit. Kedua, isi arti pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia. Ketiga, isi arti pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit yaitu isi isi arti pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan hingga memiliki sifat yang khusus kongkrit serta dinamis (lihat Notonagoro, 1975 : 36,40).
Pembahasan berikutnya adalah pandangan pancasila tentang pengetahuan manusia. Sebagaimana di jelaskan di muka bahwa masalah estimology pancasila diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat manusia. Maka konsepsi dasar ontologis sila-sila pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak estimology pancasila. Menurut pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rokhani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-unsur : fisis anorganis, vegetatif, animal. Adapun unsur jiwa (rokhani) manusia terdiri atas unsur-unsur jiwa manusia : akal, yaitu suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam memdapatkan kebenaran pengetahuan manusia. Rasa yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemampuan esteti (keindahan). Adapun kehendak adalah unsur potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang moral atau etika. Menurut Notonegoro dalam skema potensi rokhaniah manusia terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan akal manusia merupakan sumber daya cipta manusia dan dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut: memoris, resepsif, kritis dan kreatif. Adapun potensi atau daya untuk meresapkan pengetahuan atau dengan lain perkataan transpormasi pengetahuan terdapat tingkatan sebagai berikut: demonstrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham (Notonegoro,tanpa tahun :3).
 Berdasarkan tingkatan tersebut diatas maka pancasila mengakui kebenaran rasio yang bersumber pada akal manusia. Selain itu manusia memiliki indra sehingga dalam proses reseftif  indra merupakan alat untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan yang bersifata empiris. Maka pancasila juga mengakui kebenaran empiris terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia yang bersifat positif. Potensi yang terdapat dalam diri manusia untuk mendapatkan kebenaran terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan positif pancasial juga mengakui kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk tuhan yang maha esa, maka sesuai dengan sila pertama pancasila estimologi juga mengakui kebenaran wahyu bersifat mutlak hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu kebenaran mutlak. Selain itu dalam sila ketiga yaitu persatuan indonesia, sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka epistimologis pancasila juga mengakui kebenaran konsensus terutama kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagaimana makhluk individu dan mahluk sosial.
3.  Dasar Aksiologis (nilai) sila-sila pancasila
Sila-sila pancasila sebagai suatu sistem filsafat yang juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologinya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material. Kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan  pada dua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia, hal ini bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak pandangan tentang nilai terutama dalam menggolongkan nilai dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut pandangnya msing-masing.
Max Scheler misalnya mengemukakan bahwa nilai pada hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bila mana dibandingkan satu dangan yang lainnya. Sejalan denga pandangan tersebut, Notonagoro merinci nilai disamping bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada yang bersifat material dan non material. Dalam hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup  dan filsafat  hidup masing-masing. Ada sekelompok orang berdasarkan pada orientasi pada nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang non material. Bahkan sesuatu yang non material itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material  relatif lebih mudah diukur yaitu menggunakan indra maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas dan  sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang bersifat rokhaniah yang menjadi alat ukur adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indra manusia yaitu cipta, rasa, karsa serta keyakinan manusia.
Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai pancasila termasuk nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu juga nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-hierarkis, dimana silapertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya. (Darmodiharjo, 1978). 











Daftar Pustaka
Lasiyo & Yuwono, Pancasila (pendekatan secara kefilsafatan). Liberty Yogyakarta
Kaelan & Achmad Zubaidi. 2012, Pendidikan Kewarganegaraan untuk perguruan tinggi. Paradigma Yogyakarta
Kaelan. 2014, Pendidikan Pancasila. Paradigma Yogyakarta
Budiyono Kabul. 2014, pendidikan Pancasila untuk perguruan tinggi. Alfabeta Bandung
     Tim Dosen Filsafah Ilmu. 1996, Filsafat Ilmu. Yogyakarta

 

Rabu, 22 Maret 2017

MENYIAPKAN DIRI MENJADI SEORANG GURU

Guru dalam pasal 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedudukan guru sebagai tenaga professional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dalam pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen dikatakan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Menjadi seorang guru tidaklah mudah, karena banyak sekali hal-hal yang perlu diperhatikan seperti sikap. Menjadi seorang guru harus bersikap baik karena guru akan menjadi teladan bagi siswa-siswanya, keluarganya, dan juga masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu, seorang guru dituntut untuk menguasai empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Sehingga untuk menjadi seorang guru harus menyiapkan diri dengan menguasai keempat kompetensi yang menjadi tuntutan nasional. Selain keempat kompetensi tersebut, menjadi seorang guru juga harus memiliki keterampilan-keterampilan dasar mengajar yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Keterampilan-keterampilan itu berupa:
1.      Keterampilan membuka dan menutup pelajaran
2.      Keterampilan bertanya
3.      Keterampilan memberikan penguatan
4.      Keterampilan mengelola kelas
5.      Keterampilan membimbing diskusi
6.      Keterampilan menjelaskan
7.      Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan
8.      Keterampilan melakukan variasi


Jadi, sebelum menjadi seorang guru, calon guru harus benar-benar mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh, mulai dari menguasai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional kemudian juga harus menguasai keterampilan-keterampilan dasar mengajar sehingga kualitas guru akan semakin membaik dan dapat pula meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu kesiapan mental dan emosional untuk selalu berdedikasi harus dipersiapkan oleh para calon guru.

Kamis, 09 Maret 2017

TUGAS 1
(Kamis, 9 Maret 2017)
Nama:                              MUH. HAMUDI
NIM:                                       E1B014024
E-Mail:                muh.hamudi@gmail.com
Blog:      muhammadhamudi.blogspot.com
Kompasiana.com:        Muhammad Hamudi
No. Hp:                                082340009669

1.      Pengertian Karya Tulis Ilmiah
Karya tulis ilmiah merupakan suatu tulisan yang memaparkan hasil kajian atau penelitian yang telah dilakukan oleh seseorang atau lebih (kelompok) dengan memenuhi kaidah keilmuan yang bertujuan untuk memberitahukan suatu hal secara logis dan sistematis.
2.      Asal-usul karya tulis ilmiah
Menurut pemikiran saya, karya tulis ilmiah berawal dari suatu masalah atau fenomena yang membuat seseorang atau sekelompok orang ingin memecahkan masalah atau menjelaskan fenomena tersebut. Dalam karya ilmiah, penjelasan tentang suatu fenomena dapat dikemukakan dengan kata-kata dan terkadang tidak bersifat teknis. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berpengaruh terhadap perkembangan sistem berpikir manusia, fenomena-fenomena tersebut harus dijelaskan secara logis dan sistematis, sehingga apa yang sudah dikaji atau diteliti sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan.
3.      Fungsi/manfaat karya tulis ilmiah

a). fungsi karya tulis ilmiah

Adapun fungsi dari karya tulis ilmiah antara lain sebagai berikut:
1.      Karya tulis ilmiah berfungsi sebagai sumber rujukan yang dapat dijadikan referensi dalam keilmuan
2.      Karya tulis ilmiah dapat menjadi alat untuk menyebarkan penemuan-penemuan yang sudah dikaji dan diteliti.
3.      Karya tulis ilmiah berfungsi sebagai media untuk membagikan pengetahuan kepada masyarakat tentang sesuatu yang sudah dikaji sebelumnya.
b). Manfaat karya tulis ilmiah
Adapun manfaat dari karya tulis ilmiah adalah sebagai berikut:
1.         Karya tulis ilmiah dapat meningkatkan wawasan atau pengetahuan bagi pembaca  maupun penulis
2.         Karya tulis ilmiah dapat memberikan rasa kepuasan tersendiri bagi penulis
3.         Karya tulis ilmiah dapat meningkatkan keterampilan membaca dan menulis
4.         Dapat melatih keterampilan dasar untuk melakukan penelitian
5.         Meningkatkan kemampuan dalam mengintegrasikan berbagai gagasan, konsep, ide dan sajikan secara sistematis.



Kajian Pustaka:

H. Ardial. 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. KENCANA PRENADAMEDIA GROUP. Jakarta