Dasar Ontologis, Epistemologi, dan
Aksiologi sila-sila Pancasila
Pengertian Ontologi
Ontologi
menurut Aristoteles adalah ilmu yang menyelidiki hakikat sesuatu tentang ada
atau keberadaan. Ontologi juga dikenal dengan ilmu tentang
keberadaan sesuatu secara nyata, faktual, dan konkret. Bidang ontologi
menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan) manusia, benda,
alam semesta (kosmologi). Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas
lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asa yang berdiri sendiri, melainkan
memiliki satu kesatuan dasar ontologis.
·
Pengertian Epistemologi
Epistemologi
atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat,
susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber
pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas, dan validitas
ilmu pengetahuan.
Secara epistemologi kajian Pancasila
sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila
sebagai suatu sistem pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat pada
hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti pancasila telah
menjadi suatu belief sistem, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh
karena itu pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam
kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
·
Pengertian Aksiologi
Istilah
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios
yang artinya nilai, manfaat, dan logos
yang artinya pikiran atau ilmu. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu
yang diinginkan, disukai atau yang baik. bidang yang diselidiki adalah hakikat
nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisiska suatu nilai. Nilai (value
dalam bahasa inggris) berasal dari bahasa Latin valere yang
artinya kuat, baik, dan berharga. Dalam kajian filsafat nerujuk pada sesuatu
yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna, nilai juga mengandung harapan akan
sesuatu yang diinginkan, nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada
pada suatu benda untuk memuaskan manusia.
·
Dasar
Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologi sila-sila Pancasila
Kesatuan
sila-sila pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang
bersifat yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar
omtologis, dasar epistimologis, serta dasar aksiologis dari sila-sila
pancasila. Sebagaiman dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila pancasila adalah
bersifat hierarkis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk
menggambarkan hubungan kesatuan sila-sila pancasila itu dalam arti formal
logis. Selain kesatuan sila-sila pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas
juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila
pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar
ontologis, dasar epistimologi, serta dasar aksiologi dari sila-sila pancasila (
Notonagoro, 1984: 61 dan 1975 : 52,57). Secara filosofis pancasila sebagai
suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistimologi, serta dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat
lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme,
dan lain paham filsafat didunia.
1. Dasar
Ontologi (hakikat manusia) sila-sila pancasila
Pancasila
sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut
sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila
pancasila atau secara filosofis merupakan dasar ontologis sila-sila pancasila.
Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang
berdiri sendiri, melainkan memiliki suatu kesatuan dasar ontologis. Dasar
ontologis pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat
mutlak monopluralis, oleh karena itu
hakikat dasar ini juga disebut dasar antropologis.
Subjek pendukung pokok sila-sila pancasila adalah manusia, hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut: bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta
yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro 1975 : 23).
Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa pancasila
adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan
unsur rakyat adalah manusia itu sendiri sehingga tepatlah jikalau dalam
filsafat pancasila bahwa hakikat dasar ontologis sila-sila pancasila adalah
manusia.
Manusia
sebagai pendudkung pokok sila-sila pancasila secara ontologis memiliki hal-hal
yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa jasmani dan
rohani, sifat kodrat manusia adalah sebagai mahluk individu dan mahluk sosial,
serta kedudukan kodrat manusia sebagai mahluk pribadi berdiri sendiri dan
sebagai mahluk Tuhan Ynag Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia
sebagai mahluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai mahluk Tuhan inilah maka
secara hierarkis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai
siloa-sila yang lainnya (Notonagoro, 1975 : 53).
Hubungan
kesatuan antara negara dengan landasan sila-sila pancasila adalah berupa
hubungan sebab akibat yaitu negara sebaga pendukung hubungan dan Tuhan,
manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan
sila-sila pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah sebagai
sebab, adapun negara adalah sebagai akibat.
Sebagai
suatu sistem filsafat landasan sila-sila pancasila itu dalam hal isinya menunjukkan
suatu hakikat makna yang bertingkat
(Notonagoro, tanpa tahun : 7), serta ditinjau dari keluasannya memiliki bentuk
piramidal.
2. Dasar
Epistemologi (pengetahuan) sila-sila pancasila
Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem
pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari pancasila merupakan pedoman atau dasar
bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia,
masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi
manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dari kehidupan
pancasila dalam pengertian seperti yang
demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan (belief
system) yang telah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup
manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini
berarti filsafat telah menjelma menjadi ideologi (Abdulgani, 1998). Sebagai
suatu ideologi maka pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik
loyalitas dari pendukungnya yaitu; 1)
logos yaitu rasionalitas atau penalarannya. 2) pathos yaitu penghayatannya, dan 3) ethos yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996 : 3). Sebagai suatu
sistem filsafat serta ideologi maka pancasila harus memiliki unsur rasional
terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem filsafat.
Dasar
epistemologis pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai
dasarnya yaitu filsafat pancasila (Soeryanto, 1991 : 50). Oleh karena itu dasar
epistimologis pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang
hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari pancasila, maka
dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistimologi yaitu bangunan epistimologi yang ditempatkan
dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996 : 32).
Terdapat
tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu: pertama tentang sumber
pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang
watak pengetahuan manusia (Titus, 1984 : 20). Persoalan epistemologi dalam
hubungannya dengan pancasila dapat dirinci sebagai berikut:
Pancasila
sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber
pengetahuan pancasila dan susunan pengetahuan pancasila. Tentang sumber pengetahuan pancasila,
sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber pengetahuan pancasila adalah
nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa
lain, bukannya hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau
beberapa orang saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam
mendirikan negara. Dengan lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis pancasila.
Oleh
karena sumber pengetahuan pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang
memiliki nilai-nilai adat istiadat serta kebudayaan dan nilai religius, maka
diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila pancasila dengan
pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang
bersifat korespondensi.
Berikutnya
tentang susunan pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu
sistem pengetahuan maka pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis
baik dalam arti susunan sila-sila pancasila maupun isi arti pancasila . Susunan
kesatuan sila-sila pancasila adalah hierarkhis dan berbentuk piramidal, dimana
sila pertama pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya serta sila kedua didasari sila pertama serta
menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari oleh sila
pertama dan kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat didasari
oleh sila pertama, kedua dan ketiga serta menjiwai sila kelima, adapun sila
kelima didasari dan dijiwai oleh sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Demikianlah
maka susunan sila-sila pertama memiliki sistem logis baik yang menyangkut
kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis pancasila juga
menyangkut isi arti sila-sila pancasila. Susunan isi arti pancasila meliputi tiga hal yaitu: pertama, isi arti pancasila
yang umum universal yaitu hakikat
sila-sila pancasila. Isi arti sila-sila pancasila yang umum universal ini
merupakan inti sari atau esensi pancasila sehimgga merupakan pangkal tolak
derivasi baik dalam pelaksanaan pada bidang-bidang kenegaraan dan bidang
kehidupan konkrit. Kedua, isi arti
pancasila yang umum kolektif, yaitu
isi arti pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia
terutama dalam tertib hukum Indonesia. Ketiga,
isi arti pancasila yang bersifat khusus
dan kongkrit yaitu isi isi arti pancasila dalam realisasi praksis dalam
berbagai bidang kehidupan hingga memiliki sifat yang khusus kongkrit serta
dinamis (lihat Notonagoro, 1975 : 36,40).
Pembahasan
berikutnya adalah pandangan pancasila tentang pengetahuan manusia. Sebagaimana
di jelaskan di muka bahwa masalah estimology pancasila diletakkan dalam
kerangka bangunan filsafat manusia. Maka konsepsi dasar ontologis sila-sila
pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak estimology
pancasila. Menurut pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu
hakikat manusia memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas
raga (jasmani) dan jiwa (rokhani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah
unsur-unsur : fisis anorganis, vegetatif, animal. Adapun unsur jiwa (rokhani)
manusia terdiri atas unsur-unsur jiwa manusia : akal, yaitu suatu potensi unsur
kejiwaan manusia dalam memdapatkan kebenaran pengetahuan manusia. Rasa yaitu
unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemampuan esteti (keindahan). Adapun
kehendak adalah unsur potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang moral
atau etika. Menurut Notonegoro dalam skema potensi rokhaniah manusia terutama
dalam kaitannya dengan pengetahuan akal manusia merupakan sumber daya cipta
manusia dan dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan yang
benar terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut: memoris, resepsif,
kritis dan kreatif. Adapun potensi atau daya untuk meresapkan pengetahuan atau
dengan lain perkataan transpormasi pengetahuan terdapat tingkatan sebagai
berikut: demonstrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi,
inspirasi dan ilham (Notonegoro,tanpa tahun :3).
Berdasarkan tingkatan tersebut diatas maka
pancasila mengakui kebenaran rasio yang bersumber pada akal manusia. Selain itu
manusia memiliki indra sehingga dalam proses reseftif indra merupakan alat untuk mendapatkan
kebenaran pengetahuan yang bersifata empiris. Maka pancasila juga mengakui
kebenaran empiris terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia yang
bersifat positif. Potensi yang terdapat dalam diri manusia untuk mendapatkan
kebenaran terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan positif pancasial juga
mengakui kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia
pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk tuhan yang maha esa,
maka sesuai dengan sila pertama pancasila estimologi juga mengakui kebenaran
wahyu bersifat mutlak hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi.
Kebenaran dalam pengetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesa yang
harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak
manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu kebenaran mutlak.
Selain itu dalam sila ketiga yaitu persatuan indonesia, sila keempat kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka epistimologis
pancasila juga mengakui kebenaran konsensus terutama kaitannya dengan hakikat
sifat kodrat manusia sebagaimana makhluk individu dan mahluk sosial.
3. Dasar
Aksiologis (nilai) sila-sila pancasila
Sila-sila
pancasila sebagai suatu sistem filsafat yang juga memiliki satu kesatuan dasar
aksiologinya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pada hakikatnya
juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan
hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing
dalam menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya kalangan
materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material.
Kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai
kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita
kelompokkan pada dua macam sudut pandang
yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai
yaitu manusia, hal ini bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa
pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal
ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
Pada
hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada
serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak pandangan
tentang nilai terutama dalam menggolongkan nilai dan penggolongan tersebut amat
beraneka ragam tergantung pada sudut pandangnya msing-masing.
Max
Scheler misalnya mengemukakan bahwa nilai pada hakikatnya berjenjang, jadi
tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai itu dalam
kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bila mana
dibandingkan satu dangan yang lainnya. Sejalan denga pandangan tersebut,
Notonagoro merinci nilai disamping bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada
yang bersifat material dan non material. Dalam hubungan ini manusia memiliki
orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat
hidup masing-masing. Ada sekelompok orang berdasarkan pada orientasi
pada nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada
nilai yang non material. Bahkan sesuatu yang non material itu mengandung nilai
yang bersifat mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur yaitu menggunakan
indra maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas dan sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang
bersifat rokhaniah yang menjadi alat ukur adalah hati nurani manusia yang
dibantu oleh alat indra manusia yaitu cipta, rasa, karsa serta keyakinan
manusia.
Menurut
Notonagoro bahwa nilai-nilai pancasila termasuk nilai-nilai kerohanian yang
mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai pancasila
yang tergolong nilai kerohanian itu juga nilai-nilai lain secara lengkap dan
harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan
atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang
secara keseluruhan bersifat sistematik-hierarkis, dimana silapertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial
sebagai tujuannya. (Darmodiharjo, 1978).
Daftar
Pustaka
Lasiyo
& Yuwono, Pancasila (pendekatan
secara kefilsafatan). Liberty Yogyakarta
Kaelan
& Achmad Zubaidi. 2012, Pendidikan
Kewarganegaraan untuk perguruan tinggi. Paradigma Yogyakarta
Kaelan.
2014, Pendidikan Pancasila. Paradigma
Yogyakarta
Budiyono
Kabul. 2014, pendidikan Pancasila untuk
perguruan tinggi. Alfabeta Bandung
Tim Dosen Filsafah Ilmu. 1996, Filsafat
Ilmu. Yogyakarta