Kamis, 27 April 2017

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

 PEMBAHASAN

1.      Pengertian Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara)
             Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan yang menentang absolutisme sehingga sipatnya dapat dikatakan sangat revolusioner dan bertumpu pada sistem kontinental yang disebut civil law atau modern roman law yang karakteristiknya adalah administratif. Dan hal ini lahir karena dilatar belakangi oleh kekuasaan raja yang sangat menonjol pada saat itu di negara Romawi. Dan adapun konsep dari peradilan administrasi negara merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus ciri yang menonjol pada rechsstaat.
            Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 5  tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

2.      Urgensi Peradilan Adminitrasi Negara
            Penyelenggaraan peradilan administrasi negara ( peradilan tata usaha negara) di Indonesia merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal.
            Perlindungan hukum terhadap rakyat atas tindak pemerintah tidak dapat ditampung oleh peradilan umum yang ada. Oleh sebab itu, maka harus ada peradilan khusus yang dapat menyelesaikan masalah tersebut yakni peradilan administrasi.

3.      Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
            Kompetensi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Adapun kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkat pengadilan yang ada berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Didalam Peradilan Tata Usaha Negara ada dua kompetensi yang dimiliki, yakni kompetensi absolute dan kompetensi relatif.
a.       Kompetensi absolut
Kompetensi absolut merupakan wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan lain (pengadilan agama, pengadilan umum, pengadilan militer).
Kompetensi absolut badan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana tertuang dalam pasal 1 butir 4 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memeriksa sengketa tata usaha Negara yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang perorangan atau badan hukum perdata dengan pejabat atau badan tata usaha negara baik ditingkat pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi absolut badan peradilan tata usaha juga tertuang dalam pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun perlu diperhatikan, bahwa ada beberapa keputusan tata usaha Negara dan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha Negara dan termasuk dalam lingkup pejabat tata usaha Negara sebagai bagian dalam pelaksanaan tugas-tugasnya di bidang administrasi Negara, namun keputusan yang dikeluarkan tersebut tidak dapat dikeluarkan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai obyek sengketa tata usaha Negara. Adapun beberapa keputusan yang dimaksud dapat dilihat dalam pasal 2 beserta penjelasan UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang meliputi:
1.      Keputusan tata usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. Merupakan keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan berkaitan dengan lapangan hukum keperdataan, seperti masalah jual-beli, sewa menyewa, dll. Yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
2.      Keputusan tata usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, merupakan peraturan yang memuat norma-norma hukum dan dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
3.      Keputusan tata usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan  adalah keputusan yang untuk berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain.
4.      Keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. Hal ini merupakan kewenangan dari peradilan umum dalam kaitannya dengan kasus-kasus kepidanaan.
5.      Keputusan tata usaha Negara atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan keputusan hakim peradilan-peradilan lain, seperti peradilan umum beserta peradilan yang berada dalam lingkungan pengadilannya, pengadilan militer dan pengadilan agama.
6.      Keputusan tata usaha Negara yang mengenai tata usaha negara Tentara Nasional Indonesia, merupakan dikeluarkan keputusan /penetapan yang dikeluarkan di lingkungan tata usaha Negara TNI.
7.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
b.      Kompetensi relatif
Kompetensi relatif Peradilan Tata Usaha Negara tertuang dalam pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, meliputi:
1.      Tempat kedudukan tergugat, yang dimaksud adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menururt hukum.
2.      Tempat kedudukan salah satu tergugat. Jika pihak tergugat yang menjadi tergugat lebih dari satu badan/pejabat tata usaha Negara, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerahnya  hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan atau pejabat tata usaha Negara yang menjadi tergugat tersebut.
3.      Tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada PTUN di tempat tergugat. Apabila tempat kedudukan tergugat berada di luar daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan kepada PTUN tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada PTUN yang bersangkutan.
4.      Tempat kedudukan penggugat, terhadap sengketa tata usaha Negara tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah . gugatan dapat diajukan di PTUN tempat penggugat berdomisili.
5.      PTUN Jakarta, dalam hal penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada diluar negeri, gugatan diajukan pada PTUN Jakarta.
6.      Apabila tergugat berada di dalam negeri dan penggugat berada di luar negeri, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan di tempat kedudukan tergugat.

4.      Kasus-kasus di dalam Peradilan Tata Usaha Negara.

GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 71/M TAHUN 2000.

1.      Posisi Kasus.
Keputusan presiden Nomor 71/M Tahun 2000 yang memberhentikan Parni Hadi dari jabatannya selaku Pimpinan Lembaga Kantor Berita  Nasional ANTARA (LKBN ANTARA) dan menggantikannya dengan Mohammad Sobary telah mendatangkan sejumlah kontroversi. Sebagaimana diketahui bahwa Parni Hadi melalui kuasa hukumnya telah menggugat keabsahan Keppres tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Tulisan ini tidak dimaksud membahas surat gugatan tersebut, tetapi lebih memfokuskan kepada wewenang Presiden membuat/ mengeluarkan Keputusan Presiden dan apakah Keppres dapat dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara (TUN), khususnya Keppres Nomor 71/M Tahun 2001 tersebut. Adapun bunyi dari keputusan presiden tersebut adalah sebagai berikut:















Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 71/ M Tahun 2000
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang     :
a.       Bahwa untuk mewujudkan kemandirian Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA” dari pengaruh Pemerintah, dipandang perlu menyiapkan Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA” yang tidak berpihak secara politik;
b.      Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengangkat Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA” yang baru menggantikan pejabat lama, saudara Parni Hadi;
c.       Bahwa saudara Drs. Mohammad Sobary, MA. Dianggap mampu dan cakap untuk diangkat sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”.
Mengingat       :
1.      Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945;
2.      Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1966 tentang Peraturan Dasar Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”.
Memutuskan:
Menetapkan    :
Pertama:          Memberhentikan dengan hormat Saudara Parni Hadi dari jabatannya sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”, disertai ucapan terima kasih atas pengabdian dan jasa-jasanya selama memangku jabatan tersebut;
Kedua  :          Mengangkat Saudara Drs. Mohammad Sobary. MA. Sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”;
Ketiga  :          Keputusan presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
                        Salinan Keputusan Presiden ini disampaikan kepada:
1.      Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2.      Ketua Dewan Perwakilan Rakyat;
3.      Ketua Dewan Pertimbangan Agung;
4.      Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
5.      Para Menteri Negara Kabinet periode Tahun 1999-2004;
6.      Para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
7.      Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara di Jakarta.
Petikan Keputusan Presiden ini disampaikan kepada yang bersangkutan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 maret 2000
Presiden Republik Indonesia
Ttd.
Abdurrahman Wahid
Disalin sesuai dengan aslinya:
Sekretaris Kabinet,
Ttd
Marsilam Simandjuntak




2.      Analisis Kasus.

a.       Wewenang Legislatif Presiden.
Sebagaimana diketahui dalam realitasnya kekuasaan presiden dibidang legislatif tidak hanya bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) membuat Undang-undang (UU), tetapi juga secara mandiri dapat membuat/ mengeluarkan produk hukum yang lainnya, yaitu; peraturan pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres).
Kekuasaan Presiden membuat Peraturan Pemerintah didasarkan kepada wewenang yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.” Dalam realitasnya ketentuan pasal ini mempunyai dua tafsir, yaitu; (1) suatu Peraturan Pemerintah hanya dapat dikeluarkan oleh Presiden, apabila dalam salah satu pasal dari Undang-undang tersebut secara tegas mengatakan membutuhkan suatu Peraturan Pemerintah (delegasi), misalnya; Pasal 8 ayat (3) UU 23/ 1997 (UUPLH) yang menyebutkan “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah’. Tafsir ini membawa konsekuensi, apabila suatu Peraturan Pemerintah dikeluarkan oleh presiden tanpa memiliki wewenang delegasi, maka Peraturan Pemerintah tersebut menjadi tidak sah. Dengan demikian berdasarkan tafsir ini ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 tidak secara otomatis memberikan wewenamg delegasi, maka Peraturan Pemerintah setiap dikeluarkan suatu UU. (2) suatu Peraturan Pemerintah dapat saja dikeluarkan meskipun dalam suatu Undaang-undang tidak secara tegas menyebutkan agar diatur lebih lanjut dalam suatu Peraturan Pemeriah. Implikasi dari tafsir ini adalah bahwa suatu Peraturan Pemerintah dapat mereduksi bahkan mencaplok materi muatan dari Undang-undang. Disamping itu, presiden tidak segera tahu pasal-pasal mana saja dari suatu Undang-undang yang memerlukan pengaturan lebih lanjut  dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan wewenang Presiden membuat/ mengeluarkan Keputusan Presiden tidak ditemukan dasar hukumnya dalam UUD 1945. Namun, seperti Prof. A. Hamid. S. Attamimi berpendapat bahwa Keputusan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden Republik Imdonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-undang Dasar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, Presiden adalah pemegang kekuasaan legislatif (dengan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah). Pendapat ini didasarkan kepada pendapatnya Jellinek yang mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti formal mengandung  kekuasaan mengatur (verordnungsgewalt) dan kekuasaan memutus (entscheidungsgewalt), sedangkan pemerintahan dalam arti material mengandung unsur melaksanakan (das element der regierung und das der vollziehung). Selain mengutip pendapatnya Jellinek untuk lebih menguatkan pendapatnya Prof. Hamid juga mengutip pendapatnya Van Vallenhoven yang mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti luas itu meliputi fungsi ketataprajaan (bestuur), keamanan/ kepolisian (politie), dan pengaturan (regeling), sedangkan fungsi peradilan (rechspraak) itu dipisahkan karena adanya wawasan negara berdasar atas hukum.
Dengan adanya kekuasaan Pemerintahan tersebut menurut Prof. Hamid bahwa Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengatur segala sesuatu di Negara Republik Indonesia, hanya saja kekuasaan mengatur ini mempunyai suatu batasan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa apabila Presiden akan membentuk Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan perkataan ini apabila Presiden akan mengatur dengan jalur legislatif, presiden harus mendapatkan persetujuan DPR, yaitu dalam membentuk suatu Undang-undang, sedangkan apabila Presiden hendak mengatur dengan jalur eksekutif dapat dilaksanakan dengan pembentukan suatu Keputusan Presiden sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1)UUD 1945.
Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan suatu Keputusan Presiden tidak dapat lahir dari “perut” Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 atau yang disebut dengan wewenang atribusi, tetapi juga dapat lahir dari suatu peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi yang dalam hal ini adalah Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) atau yang dikenal dengan wewenang delegasi. Keputusan Presiden yang lahir dari “perut” Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 materi muatannya sulit terkontrol, karena beberapa alasan; (1) untuk mengeluarkannya tidak memerlukan dasar hukum lain, sehingga dapat membawa implikasi muatan materinya dapat bertentangan atau bahkan mencaplok lahan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi; (2) untuk berlakunya tidak memerlukan pesetujuan dari lembaga lain termasuk DPR. Oleh karenanya, Keputusan Presiden jenis ini sangat potensial “dimanfaatkan” untuk melegitimasi kekuasaan atau meminjam istilah Daniel Lev sebagai “kekuasaan oleh hukum” bukan “kekuasaan berdasarkan hukum” yang pertama menunkjuk kepada hukum sebagai suatu sarana kekuasaan, sedangkan yang kedua menunjuk kepada hukum sebagai mengikat kekuasaan. Sementara itu, Keputusan Presiden yang lahir dari wewenang delegasi dalam prakteknya juga tidak selamanya sebagai pengaturan tindak yang secaaara tegas-tegas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang delegasi. Dengan demikian Keputusan Presiden dapat lahir dari 3 (tiga) sumber: (1) berdasarkanwewenang atribusi dari pasal4 ayat (1) UUD 1945; (2) berdasarkan wewenang delegasi yang secara tegas disebutkan dalam suatu UU atau PP; (3) berdasarkan wewenang delegasi yang tidak secara tegas disebutkan dalam suatu UU atau PP. Keadaan ini sangat potensial melahirkan hukum yang tidak adil, hukum yang hanya mementingkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja, yang pada gilirannya hukum menjadi kehilangan substansinya, seperti yang disinyalir Lev diatas.
Ditinjau dari segi materi muatannya baik Keputusan Presiden yang lahir dari wewenang atribusi (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945) dan yang lahir dari wewenang delegasi (pelimpahan wewenang dari UU atau PP) dapat dikelompokkan menjadi Keputusan Presiden yang materi muatannya bersifat pengaturan (regeling), misalnya; Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Keputusan Presiden yang materi muatannya bersifat penetapan (beschikking) atau dalam bahasa UU/1986 disebut dengan istilah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).















DAFTAR PUSTAKA
Cahyawati, Dwi Putri. 2011. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. PT. Gramata Publishing; Jakarta
Harahap, Zairin. 1997. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
https://irvanogie.wordpress.com/2013/09/10/501/
http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/kompetensi-peradilan-tata-usaha-negara.html




Komparasi (perbandingan) HAM, hak dan kewajiban warganegara dalam Piagam Madinah, Magna Charta, dan UUD 1945

Pembahasan
Piagam Madinah juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622 Masehi. Piagam Madinah berisi 47 pasal yang mengatur kehidupan semua kaum di Yathrib.
Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat dalam Piagam Madinah, dapat kita lihat HAM dan Hak dan Kewajiban yang di atur di dalamnya seperti yang terdapat dalam:
·         Pasal 2-10 yang mengatur tentang kewajiban warganegara yang bahu membahu membayar diat diantara mereka. Hal ini dapat kita lihat dari bunyi pasalnya yaitu “sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin”
Selain pasal 2-10 diatas, pasal 18  dan pasal 44 juga mengatur tentang kewajiban. Hal ini dapat kita lihat dari pasalnya yang berbunyi:“Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu membahu satu sama lain” dan “Mereka (pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib”

·         Pasal 26-35 yang mengatur tentang persamaan perlakuan yang artinya menjunjung HAM yang dimiliki oleh semua kaum yang di lindungi oleh Piagam Madinah. Hal ini dapat kita lihat dari bunyi pasalnya yaitu: diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Awf ”
Selain pasal 26-35, pasal lain yang didalamnya terdapat aturan yang menghormati HAM adalah pasal 14 dan pasal 21 yang berbunyi: “Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk (membunuh)  orang beriman” dan “Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya”

·         Pasal 16 mengatur tentang hak suatu kaum, yang artinya juga menjamin hak warganegara. Hal ini dapat kita lihat dari bunyi pasal yang mengaturnya yaitu: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang olehnya”
Selain pasal 16 diatas, hak dan kewajiban terlihat jelas dalam pasal 46 yang berbunyi: Kaum Yahudi Al-‘Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah palingmembenarkan dan memandang baik isi piagam ini”.
Berbicara tentang HAM, hak dan kewajiban warganegara, kita tidak berhenti sampai disitu saja. Artinya HAM ini adalah suatu yang universal yang harus di junjung dan di hormati oleh siapa saja. Selain Piagam Madinah di negeri timur (Islam), HAM juga di atur dinegeri barat yaitu Inggris. Konstitusi yang mengaturnya adalah Magna Charta yaitu sebuah aturan yang membatasi kewenangan sang raja. Adapun isi dari Magna Charta yang dibuat pada tahun 1215 adalah sebagai berikut:
  1. Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris.
  2. Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak.
  3. Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk.
  4. Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah.
  5. Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
  6. Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.
  7. Kekuasaan raja harus dibatasi.
  8. Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting daripada kedaulatan, hukum atau kekuasaan.
Dari beberapa isi dari Magna Charta diatas kita bisa lihat beberapa ketentuan yang menghormati HAM warga negara seperti yang berbunyi: Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting daripada kedaulatan, hukum atau kekuasaan”. Selain HAM, dalam isi Magna Charta ini terdapat ketentuan yang mengatur tentang hak dari warga negara, seperti: “Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak”. Dan “ Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk”. Serta “Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah”.
Di Indonesia sendiri HAM mulai di atur dalam UUD 1945 ialah sejak amandemen ke-2 yaitu pada tanggal 18 Agustus tahun 2000. Adapun aturan tentang HAM terdapat dalam pasal 28A-J. Sementara itu tentang hak dan kewajiban warganegara terdapat dalam butir-butir ayat dalam pasal UUD 1945. Pasal-pasal yang mengatur tentang HAM ialah pasal 28A sebanyak 1 ayat, pasal 28B sebanyak 2 ayat, pasal 28C sebanyak 2 ayat, pasal 28D sebanyak 4 ayat, pasal 28E sebanyak 3 ayat, pasal 28F sebanyak 1 ayat, pasal 28G sebanyak 2 ayat, pasal 28H sebanyak 4 ayat, pasal 28I sebanyak 5 ayat, pasal 28J sebanyak 2 ayat. Sedangkan hak dan kewajiban warganegara dapat kita lihat dari bunyi pasal 30 ayat (1) yaitu “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara” dan pasal 27 ayat (3) yang berbunyi: “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.  Selain pasal 30, hak dan kewajiban warganegara dapat kita temukan dalam  pasal 31 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” dan juga pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Komparasi (perbandingan) HAM, hak dan kewajiban warganegara dalam Piagam Madinah, Magna Charta, dan UUD 1945
Melihat aturan tentang HAM, hak dan kewajiban warganegara yang terdapat dalam Piagam Madinah, Magma Charta dan UUD 1945 terdapat berbagai perbedaan dan juga persamaan diantara ketiganya. Ketiga konstitusi ini jelas memiliki perbedaan yaitu dimensi waktu dan tempat berlakunya. Seperti yang kita ketahui Piagam Madinah berlaku di negeri Madinah (Yathrib) pada tahun 622 Masehi dan Magma Charta berlaku di Inggris pada tahun 1215, sedangkan UUD 1945 berlaku kembali di Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1959 saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Ada beberapa persamaan antara Piagam Madinah dengan UUD 1945 dan Magna Charta mengenai HAM, hak dan kewajiban warga negara yang dapat kita lihat sebagai berikut:
1.      Piagam Madinah, Magna Charta dan UUD 1945 sama-sama menjunjung atau menghormati dan menegakkan HAM terutama hak untuk hidup yang lebih jelas dijabarkan dalam Piagam Madinah dan UUD 1945. Hal ini dapat kita lihat dari bunyi pasal 14 Piagam Madinah dan pasal 28A UUD 1945 sebagai berikut: “Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk (membunuh)  orang beriman” dan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan kehidupannya”. Serta isi Magna Charta yaitu: Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting daripada kedaulatan, hukum atau kekuasaan”.

2.      Piagam Madinah dan UUD 1945 mempunyai kesamaan dalam hal kewajiban warganegaranya. Hal ini dapat kita lihat dari bunyi pasal 18 dan 44 yang berbunyi: “Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu membahu satu sama lain” dan “Mereka (pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib” dan pasal 30 ayat 1 UUD 1945 yaitu ““tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara” dan pasal 27 ayat (3) yang berbunyi:“setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.

3.      Piagam Madinah dan UUD 1945 memiliki kesamaan dalam hal memberikan perlakuan yang sama kepada warganegaranya. Ini dapat kita lihat dalam pasal 26-35 yang berbunyi:“diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Awf ” dan pasal 28D ayat (1) yang berbunyi: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum”.
Selain memiliki kesamaan, ada juga beberapa perbedaan antara Piagam Madinah dengan UUD 1945 dan Magna Charta perihal HAM, hak dan kewajiban warga negara yang dapat kita lihat sebagai berikut:
1.      Dalam Piagam Madinah pasal 21 mengatakan “Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela (menerima diat)”. Artinya nyawa harus dibalas dengan nyawa, apabila seseorang membunuh akan dihukum mati. Sementara di Indonesia ketentuan tentang hukuman bagi yang melanggar HAM seperti pembunuhan di tentukan hukumannya dalam KUHP atau UU yang terkait bukan di UUD 1945.


2.      Dalam Piagam Madinah semua kaum di tuntut untuk saling bahu membahu membayar diat (denda) diantara mereka. Ini dapat kita lihat dalam pasal 2-10 yang inti pasalnya berbunyi: sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin”. Sementara di dalam UUD 1945 Republik Indonesia dan Magna Charta tidak terdapat pasal yang mengatur tentang hal tersebut.
                                                                                                          
3.      Piagam Madinah dan UUD 1945 lebih spesifik membahas tentang HAM, sedangkan dalam Magna Charta ketentuan tentang HAM masih umum tidak dibicarakan secara spesifik seperti Piagam Madinah dan UUD 1945.

4.      Dalam Piagam Madinah dan UUD 1945 aturan HAM di dalamnya terdapat hubungan antara sesama warga negara dan  pemerintah dengan warga negara. Sementara di Magna Charta tidak ada ketentuan tentang sesama warga negara melainkan lebih banyak hubungan antara pemerintah dengan warga negara.

Walaupun ketiga aturan ini memiliki beberapa perbedaan dalam mengatur tentang HAM dan hak serta kewajiban warganegara, akan tetapi ketiga aturan ini memberi pandangan bahwa begitu pentingnya HAM untuk di hormati dan dijunjung tinggi oleh umat manusia di dunia ini, mengingat HAM adalah sesuatu yang dibawa manusia sejak lahir dan bersifat universal.










Penutup
·         Kesimpulan
Melihat beberapa persamaan dan perbedaan antara Piagam Madinah, Magna Charta dan UUD 1945, dapat kita simpulkan bahwa paham dari UUD 1945 sama arahnya dengan Piagam Madinah terlebih dalam hal HAM. Sementara itu Magna Charta, mengatur HAM secara umum tidak secara spesifik. Walaupun ketiga hal yang mengatur HAM ini berbeda, tapi ketiganya sama-sama menghendaki ditegakkannya HAM khususnya di tempat ketentuan itu berlaku. Selain itu, Piagam Madinah dan UUD 1945 memiliki beberapa kesamaan dalam hal aturan dan ketentuan yang didalam pasal-pasalnya terlebih dalam hal HAM dan hak serta kewajiban warganegara.
·         Saran
Saran dari saya untuk penegakan HAM terutama di Indonesia, bahwa pengimplementasian dari ketentuan yang sudah ada harus benar-benar terealisasi. Artinya, kita harus menghargai HAM seseorang baik ia kaya maupun tidak. Karena HAM itu merupakan hal yang sangat fundamental yang dibawa oleh manusia sejak lahir sampai meninggal dunia. Aturan tentang HAM memang sudah sangatlah baik akan tetapi pengimplementasiannya masih kurang, sehingga diharapkan kesadaran dari individu itu sendiri untuk menghormati HAM, dan juga sebagai warga negara, kita jangan hanya meminta hak kita saja, melainkan harus melaksanakan kewajiban kita sebagai warga negara. Karna hak tanpa kewajiban akan terjadi ketimpangan, begitu juga sebaliknya.











Daftar Pustaka
 C S.T. Kansil. 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia I. Jakarta, PT Asdi Mahasatya
Kaelan & Achmad Zubaidi. 2012, Pendidikan Kewarganegaraan untuk perguruan tinggi. Paradigma Yogyakarta
Tanpa Nama. 2014. 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. SINARSINDO U

Jumat, 14 April 2017

Memberantas korupsi di kalangan pejabat negara dengan cara menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)



Latar belakang
Semakin banyaknya oknum (pejabat negara) yang melakukan korupsi semakin merugikan negara kita Republik Indonesia. Tidak hanya itu, semakin banyak tindak pidana korupsi yang terjadi menandakan bahwa ringannya sanksi bagi terpidana korupsi, serta lemah dan kurangnya pengawasan dari pemerintah, masyarakat, serta pihak yang berwenang. Oleh sebab itu, pelaku tindak pidana korupsi perlu diberikan sanksi yang berat dan harus dilakukannya pengawasan serta tindakan yang super dari pemerintah atau pihak yang berwenang termasuk KPK, Polri, dan badan hukum lainnya untuk mencegah, meminimalisir, dan bahkan memberantas tindak pidana korupsi di Republik Indonesia tercinta ini.
Apabila fungsi dari KPK yaitu memberantas korupsi, didukung oleh semua pihak dengan cara ikut serta dalam pengawasan, penindakan, dan yang lain-lain, maka bukan tidak mungkin budaya tindak pidana korupsi akan semakin berkurang dan bisa jadi berangsur-angsur menghilang (sirna atau punah). Tetapi sulit korupsi diberantas apabila KPK atau lembaga lainnya tidak stabil. Terlebih lagi kasus KPK Vs Polri yang terjadi kemarin yang mengakibatkan dinon aktifkannya ketua dan wakil ketua KPK Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto yang menyebabkan KPK sedikit goyah. Oleh sebab itu, untuk memberantas korupsi di Indonesia ini KPK dan instansi lainnya perlu dikuatkan. Bagaimanakah cara menguatkan KPK? Selebihnya akan dibahas dalam artikel yang sederhana ini.








Pembahasan
KPK merupakan salah satu lembaga yang berfungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi. KPK ialah singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana  Korupsi dalam Pasal 3,  dijelaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Selanjutnya dalam “pasal 4” dijelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Adapun tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pasal 6 Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana  Korupsi Antara lain;
1.      Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2.      Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3.      Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4.      Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
5.      Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.
Bagaimanakah cara menguatkan KPK?
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, KPK berfungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi.  Adapun cara untuk menguatkan KPK ialah:
1.      Masyarakat harus melaporkan ke KPK atau pihak yang berwenang setiap transaksi yang mencurigakan dan ikut serta dalam pengawasan terhadap tindak pidana korupsi.
KPK tidak akan menjadi kuat apabila tidak didukung oleh semua pihak, termasuk masyarakat. Masyarakat harus sensitif dengan tindakan-tindakan transaksi yang mencurigakan. Apabila masyarakat sensitif dan ikut serta mengawasi kejadian yang berbau korupsi, maka bukan tidak mungkin tindak pidana korupsi akan berkurang. Dengan sensitifnya masyarakat terhadap tindakan yang berbau korupsi, itu berarti masyarakat sudah menyadari akan bahayanya dampak korupsi bagi semua orang. Apabila masyarakat tidak mampu secara langsung melaporkannya ke KPK, masyarakat bisa melaporkan ke Kepala Desa, kemudian laporan kasus akan diteruskan ke Camat, diteruskan ke Bupati dan  seterusnya. Dengan ikut sertanya masyarakat dalam mengawasi kemudian melaporkan akan membuat hubungan antara instansi dengan masyarakat akan semakin baik. Peran masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung KPK dalam memberantas korupsi. Semakin banyak laporan yang masuk dari masyarakat ke KPK maka KPK akan semakin giat untuk menyelidiki kasus tindak pidana korupsi tersebut.
2.      Menambah jumlah anggota KPK termasuk penyidik, baik itu yang bertugas di pusat maupun di daerah-daerah.
Sesuai dengan pasal 19 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan bahwa “(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.”  Dengan tersebarnya perwakilan KPK didaerah-daerah, maka sekiranya perlu untuk menambah jumlah anggota yang bekerja di KPK. Apabila laporan yang masuk dari masyarakat banyak sementara para petugas KPK sedikit, maka akan terjadi keterlambatan dalam penanganan kasus korupsi. Untuk saat ini jumlah anggota KPK ialah sebanyak 672 orang dan berniat untuk menambah sebanyak 300 orang. (sumber: http://brainly.co.id) dan jumlah penyidiknya sebanyak 75 orang. Melihat jumlah ini terasa masih sangat kurang dibandingkan jumlah penyidik Hongkong yang berjumlah 900 orang (sumber: http:// id-id.facebook.com/darwistereliye). Bayangkan apakah bisa dengan jumlah penyidik dan anggota yang minim ini mengawasi jumlah DPR, Menteri, Gubernur, dan lain-lainnya. Oleh sebab itu perlu sekiranya untuk menambah jumlah anggota dan tim penyidik demi cita-cita memberantas korupsi sampai tuntas. Dalam penambahan tim penyidik ini KPK harus membentuk pansel ( Panitia Seleksi ) yang bersifat independen. Dan calon penyidik harus memiliki jam terbang yang banyak , bersih, jujur, serta mengerti hukum. Paling tidak KPK harus menambah jumlah penyidik setiap tahun sebanyak 20 orang penyidik supaya kedepannya KPK bisa mengawasi dan menindak para pejabat negara yang melakukan korupsi.



3.      Berkoordinasi dan bersinergi dengan instansi berwenang  yang lain dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, bahwa salah satu tugas dari KPK ialah koordinasi dengan instansi berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Maksudnya ialah KPK harus bekerja sama dengan instansi lain seperti Kepolisian, ICW, maupun Kejaksaan untuk memberantas kejahatan korupsi yang terjadi di negeri Ibu Pertiwi ini. Semua lembaga harus bekerja sama  untuk memberantas korupsi, jangan saling menjatuhkan satu sama lain. Seperti kasus KPK Vs Polri yang terjadi kemarin-kemarin ini, yang mengakibatkan dinonaktifkannya ketua dan wakil ketua KPK yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto. Tentu dengan adanya kisruh dari KPK Vs Polri ini akan mengganggu kestabilan dari KPK. Untuk itu supaya KPK menjadi stabil dan korupsi dapat diberantas, maka semua instansi yang berwenang harus bekerja sama dan jangan sampai ada lagi kisruh antar lembaga ini. Dalam rangka koordinasi ini, KPK dan lembaga lainnya seperti Polri dan Kejaksaan paling tidak mengadakan pertemuan (silaturrahmi) ataupun rapat tentang kasus-kasus yang belum atau yang akan ditangani paling tidak sekali dalam sebulan. dan juga dalam hal koordinasi ini, tim penyidik dari KPK boleh berasal dari polisi, supaya bisa menjaga hubungan antar lembaga.
4.      Mendukung kegiatan-kegiatan KPK dalam upaya pencegahan.
Sesuai dengan Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang termuat dalam Pasal 13 huruf (c) yang berbunyi ”menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan” dan (e) yang berbunyi “melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum”, KPK harus melakukan kegiatan-kegiatan tersebut yang bertujuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, masyarakat maupun instansi pemerintah harus mendukung kegiatan tersebut dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Bentuk dari partisipasi tersebut dapat berupa mengajak masyarakat lainnya terutama masyarakat yang masih minim akan informasi dalam pengawasan, pelaporan, dan lain sebagainya. Serta pemerintah harus memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut berupa dana-dana atau fasilitas lainnya, seperti buku-buku penunjang untuk pendidikan anti korupsi dan atribut-atribut lainnya. Selain cara-cara diatas, bisa juga dilakukan kegiatan seperti : mahasiswa melakukan sosialisasi anti korupsi di sekolah-sekolah, dan juga menempel stiker-stiker anti korupsi di tempat-tempat yang ramai dan kantor-kantor pemerintahan.
Dengan langkah-langkah atau cara-cara seperti ini setidaknya bisa menguatkan KPK sebagai  salah satu lembaga yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi. Apabila KPK menjadi kuat dalam menjalankan fungsinya untuk memberantas korupsi, maka bukan tidak mungkin tindak pidana korupsi berangsur-angsur berkurang dan bahkan bisa diberantas sampai tuntas. Dengan cara-cara ini juga akan menguatkan hubungan antar lembaga dan lembaga dengan masyarakat. Tetapi, korupsi tidak akan bisa diberantas tanpa adanya keterlibatan dari semua pihak.















Penutup
·         Simpulan
Korupsi merupakan hal yang sangat berbahaya. Oleh sebab itu, KPK sebagai lembaga yang berwenang memberantas korupsi di kalangan pejabat negara harus bertindak dan harus kuat untuk mengatasinya. KPK merupakan salah satu lembaga yang berfungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Adapun cara untuk menguatkan KPK ialah:
1.      Masyarakat harus melaporkan ke KPK atau pihak yang berwenang setiap transaksi yang mencurigakan dan ikut serta dalam pengawasan terhadap tindak pidana korupsi.
2.      Menambah jumlah anggota KPK termasuk penyidik, baik itu yang bertugas di pusat maupun di daerah-daerah.
3.      Berkoordinasi dan bersinergi dengan instansi berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4.      Mendukung kegiatan-kegiatan KPK dalam upaya pencegahan.
Dengan langkah-langkah atau cara-cara seperti ini setidaknya bisa menguatkan KPK sebagai  salah satu lembaga yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi. Apabila KPK menjadi kuat dalam menjalankan fungsinya untuk memberantas korupsi, maka bukan tidak mungkin tindak pidana korupsi berangsur-angsur berkurang dan bahkan bisa diberantas sampai tuntas.

·         Saran
Sudah saatnya korupsi di Indonesia ini di berantas sampai tuntas. Oleh sebab itu instansi yang berwenang memberantas korupsi harus benar-benar stabil dalam rangka memberantas korupsi. Tetapi, instansi ini tidak bisa berjalan sendiri. Oleh sebab itu, saya menyarankan untuk mari kita bersama-sama untuk mengawasi dan melaporkan serta ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pencegahan tindak pidana korupsi di samping KPK.

Daftar Pustaka
http:// id-id.facebook.com/darwistereliye
Surachmin & Suhandi Cahaya. 2010. Strategi dan Tekhnik Korupsi. SINAR GRAFIKA. Jakarta.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.