Kamis, 27 April 2017

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

 PEMBAHASAN

1.      Pengertian Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara)
             Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan yang menentang absolutisme sehingga sipatnya dapat dikatakan sangat revolusioner dan bertumpu pada sistem kontinental yang disebut civil law atau modern roman law yang karakteristiknya adalah administratif. Dan hal ini lahir karena dilatar belakangi oleh kekuasaan raja yang sangat menonjol pada saat itu di negara Romawi. Dan adapun konsep dari peradilan administrasi negara merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus ciri yang menonjol pada rechsstaat.
            Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 5  tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

2.      Urgensi Peradilan Adminitrasi Negara
            Penyelenggaraan peradilan administrasi negara ( peradilan tata usaha negara) di Indonesia merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal.
            Perlindungan hukum terhadap rakyat atas tindak pemerintah tidak dapat ditampung oleh peradilan umum yang ada. Oleh sebab itu, maka harus ada peradilan khusus yang dapat menyelesaikan masalah tersebut yakni peradilan administrasi.

3.      Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
            Kompetensi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Adapun kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkat pengadilan yang ada berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Didalam Peradilan Tata Usaha Negara ada dua kompetensi yang dimiliki, yakni kompetensi absolute dan kompetensi relatif.
a.       Kompetensi absolut
Kompetensi absolut merupakan wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan lain (pengadilan agama, pengadilan umum, pengadilan militer).
Kompetensi absolut badan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana tertuang dalam pasal 1 butir 4 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memeriksa sengketa tata usaha Negara yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang perorangan atau badan hukum perdata dengan pejabat atau badan tata usaha negara baik ditingkat pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi absolut badan peradilan tata usaha juga tertuang dalam pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun perlu diperhatikan, bahwa ada beberapa keputusan tata usaha Negara dan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha Negara dan termasuk dalam lingkup pejabat tata usaha Negara sebagai bagian dalam pelaksanaan tugas-tugasnya di bidang administrasi Negara, namun keputusan yang dikeluarkan tersebut tidak dapat dikeluarkan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai obyek sengketa tata usaha Negara. Adapun beberapa keputusan yang dimaksud dapat dilihat dalam pasal 2 beserta penjelasan UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang meliputi:
1.      Keputusan tata usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. Merupakan keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan berkaitan dengan lapangan hukum keperdataan, seperti masalah jual-beli, sewa menyewa, dll. Yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
2.      Keputusan tata usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, merupakan peraturan yang memuat norma-norma hukum dan dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
3.      Keputusan tata usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan  adalah keputusan yang untuk berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain.
4.      Keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. Hal ini merupakan kewenangan dari peradilan umum dalam kaitannya dengan kasus-kasus kepidanaan.
5.      Keputusan tata usaha Negara atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan keputusan hakim peradilan-peradilan lain, seperti peradilan umum beserta peradilan yang berada dalam lingkungan pengadilannya, pengadilan militer dan pengadilan agama.
6.      Keputusan tata usaha Negara yang mengenai tata usaha negara Tentara Nasional Indonesia, merupakan dikeluarkan keputusan /penetapan yang dikeluarkan di lingkungan tata usaha Negara TNI.
7.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
b.      Kompetensi relatif
Kompetensi relatif Peradilan Tata Usaha Negara tertuang dalam pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, meliputi:
1.      Tempat kedudukan tergugat, yang dimaksud adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menururt hukum.
2.      Tempat kedudukan salah satu tergugat. Jika pihak tergugat yang menjadi tergugat lebih dari satu badan/pejabat tata usaha Negara, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerahnya  hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan atau pejabat tata usaha Negara yang menjadi tergugat tersebut.
3.      Tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada PTUN di tempat tergugat. Apabila tempat kedudukan tergugat berada di luar daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan kepada PTUN tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada PTUN yang bersangkutan.
4.      Tempat kedudukan penggugat, terhadap sengketa tata usaha Negara tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah . gugatan dapat diajukan di PTUN tempat penggugat berdomisili.
5.      PTUN Jakarta, dalam hal penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada diluar negeri, gugatan diajukan pada PTUN Jakarta.
6.      Apabila tergugat berada di dalam negeri dan penggugat berada di luar negeri, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan di tempat kedudukan tergugat.

4.      Kasus-kasus di dalam Peradilan Tata Usaha Negara.

GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 71/M TAHUN 2000.

1.      Posisi Kasus.
Keputusan presiden Nomor 71/M Tahun 2000 yang memberhentikan Parni Hadi dari jabatannya selaku Pimpinan Lembaga Kantor Berita  Nasional ANTARA (LKBN ANTARA) dan menggantikannya dengan Mohammad Sobary telah mendatangkan sejumlah kontroversi. Sebagaimana diketahui bahwa Parni Hadi melalui kuasa hukumnya telah menggugat keabsahan Keppres tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Tulisan ini tidak dimaksud membahas surat gugatan tersebut, tetapi lebih memfokuskan kepada wewenang Presiden membuat/ mengeluarkan Keputusan Presiden dan apakah Keppres dapat dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara (TUN), khususnya Keppres Nomor 71/M Tahun 2001 tersebut. Adapun bunyi dari keputusan presiden tersebut adalah sebagai berikut:















Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 71/ M Tahun 2000
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang     :
a.       Bahwa untuk mewujudkan kemandirian Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA” dari pengaruh Pemerintah, dipandang perlu menyiapkan Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA” yang tidak berpihak secara politik;
b.      Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengangkat Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA” yang baru menggantikan pejabat lama, saudara Parni Hadi;
c.       Bahwa saudara Drs. Mohammad Sobary, MA. Dianggap mampu dan cakap untuk diangkat sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”.
Mengingat       :
1.      Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945;
2.      Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1966 tentang Peraturan Dasar Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”.
Memutuskan:
Menetapkan    :
Pertama:          Memberhentikan dengan hormat Saudara Parni Hadi dari jabatannya sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”, disertai ucapan terima kasih atas pengabdian dan jasa-jasanya selama memangku jabatan tersebut;
Kedua  :          Mengangkat Saudara Drs. Mohammad Sobary. MA. Sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”;
Ketiga  :          Keputusan presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
                        Salinan Keputusan Presiden ini disampaikan kepada:
1.      Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2.      Ketua Dewan Perwakilan Rakyat;
3.      Ketua Dewan Pertimbangan Agung;
4.      Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
5.      Para Menteri Negara Kabinet periode Tahun 1999-2004;
6.      Para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
7.      Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara di Jakarta.
Petikan Keputusan Presiden ini disampaikan kepada yang bersangkutan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 maret 2000
Presiden Republik Indonesia
Ttd.
Abdurrahman Wahid
Disalin sesuai dengan aslinya:
Sekretaris Kabinet,
Ttd
Marsilam Simandjuntak




2.      Analisis Kasus.

a.       Wewenang Legislatif Presiden.
Sebagaimana diketahui dalam realitasnya kekuasaan presiden dibidang legislatif tidak hanya bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) membuat Undang-undang (UU), tetapi juga secara mandiri dapat membuat/ mengeluarkan produk hukum yang lainnya, yaitu; peraturan pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres).
Kekuasaan Presiden membuat Peraturan Pemerintah didasarkan kepada wewenang yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.” Dalam realitasnya ketentuan pasal ini mempunyai dua tafsir, yaitu; (1) suatu Peraturan Pemerintah hanya dapat dikeluarkan oleh Presiden, apabila dalam salah satu pasal dari Undang-undang tersebut secara tegas mengatakan membutuhkan suatu Peraturan Pemerintah (delegasi), misalnya; Pasal 8 ayat (3) UU 23/ 1997 (UUPLH) yang menyebutkan “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah’. Tafsir ini membawa konsekuensi, apabila suatu Peraturan Pemerintah dikeluarkan oleh presiden tanpa memiliki wewenang delegasi, maka Peraturan Pemerintah tersebut menjadi tidak sah. Dengan demikian berdasarkan tafsir ini ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 tidak secara otomatis memberikan wewenamg delegasi, maka Peraturan Pemerintah setiap dikeluarkan suatu UU. (2) suatu Peraturan Pemerintah dapat saja dikeluarkan meskipun dalam suatu Undaang-undang tidak secara tegas menyebutkan agar diatur lebih lanjut dalam suatu Peraturan Pemeriah. Implikasi dari tafsir ini adalah bahwa suatu Peraturan Pemerintah dapat mereduksi bahkan mencaplok materi muatan dari Undang-undang. Disamping itu, presiden tidak segera tahu pasal-pasal mana saja dari suatu Undang-undang yang memerlukan pengaturan lebih lanjut  dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan wewenang Presiden membuat/ mengeluarkan Keputusan Presiden tidak ditemukan dasar hukumnya dalam UUD 1945. Namun, seperti Prof. A. Hamid. S. Attamimi berpendapat bahwa Keputusan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden Republik Imdonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-undang Dasar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, Presiden adalah pemegang kekuasaan legislatif (dengan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah). Pendapat ini didasarkan kepada pendapatnya Jellinek yang mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti formal mengandung  kekuasaan mengatur (verordnungsgewalt) dan kekuasaan memutus (entscheidungsgewalt), sedangkan pemerintahan dalam arti material mengandung unsur melaksanakan (das element der regierung und das der vollziehung). Selain mengutip pendapatnya Jellinek untuk lebih menguatkan pendapatnya Prof. Hamid juga mengutip pendapatnya Van Vallenhoven yang mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti luas itu meliputi fungsi ketataprajaan (bestuur), keamanan/ kepolisian (politie), dan pengaturan (regeling), sedangkan fungsi peradilan (rechspraak) itu dipisahkan karena adanya wawasan negara berdasar atas hukum.
Dengan adanya kekuasaan Pemerintahan tersebut menurut Prof. Hamid bahwa Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengatur segala sesuatu di Negara Republik Indonesia, hanya saja kekuasaan mengatur ini mempunyai suatu batasan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa apabila Presiden akan membentuk Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan perkataan ini apabila Presiden akan mengatur dengan jalur legislatif, presiden harus mendapatkan persetujuan DPR, yaitu dalam membentuk suatu Undang-undang, sedangkan apabila Presiden hendak mengatur dengan jalur eksekutif dapat dilaksanakan dengan pembentukan suatu Keputusan Presiden sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1)UUD 1945.
Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan suatu Keputusan Presiden tidak dapat lahir dari “perut” Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 atau yang disebut dengan wewenang atribusi, tetapi juga dapat lahir dari suatu peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi yang dalam hal ini adalah Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) atau yang dikenal dengan wewenang delegasi. Keputusan Presiden yang lahir dari “perut” Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 materi muatannya sulit terkontrol, karena beberapa alasan; (1) untuk mengeluarkannya tidak memerlukan dasar hukum lain, sehingga dapat membawa implikasi muatan materinya dapat bertentangan atau bahkan mencaplok lahan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi; (2) untuk berlakunya tidak memerlukan pesetujuan dari lembaga lain termasuk DPR. Oleh karenanya, Keputusan Presiden jenis ini sangat potensial “dimanfaatkan” untuk melegitimasi kekuasaan atau meminjam istilah Daniel Lev sebagai “kekuasaan oleh hukum” bukan “kekuasaan berdasarkan hukum” yang pertama menunkjuk kepada hukum sebagai suatu sarana kekuasaan, sedangkan yang kedua menunjuk kepada hukum sebagai mengikat kekuasaan. Sementara itu, Keputusan Presiden yang lahir dari wewenang delegasi dalam prakteknya juga tidak selamanya sebagai pengaturan tindak yang secaaara tegas-tegas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang delegasi. Dengan demikian Keputusan Presiden dapat lahir dari 3 (tiga) sumber: (1) berdasarkanwewenang atribusi dari pasal4 ayat (1) UUD 1945; (2) berdasarkan wewenang delegasi yang secara tegas disebutkan dalam suatu UU atau PP; (3) berdasarkan wewenang delegasi yang tidak secara tegas disebutkan dalam suatu UU atau PP. Keadaan ini sangat potensial melahirkan hukum yang tidak adil, hukum yang hanya mementingkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja, yang pada gilirannya hukum menjadi kehilangan substansinya, seperti yang disinyalir Lev diatas.
Ditinjau dari segi materi muatannya baik Keputusan Presiden yang lahir dari wewenang atribusi (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945) dan yang lahir dari wewenang delegasi (pelimpahan wewenang dari UU atau PP) dapat dikelompokkan menjadi Keputusan Presiden yang materi muatannya bersifat pengaturan (regeling), misalnya; Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Keputusan Presiden yang materi muatannya bersifat penetapan (beschikking) atau dalam bahasa UU/1986 disebut dengan istilah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).















DAFTAR PUSTAKA
Cahyawati, Dwi Putri. 2011. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. PT. Gramata Publishing; Jakarta
Harahap, Zairin. 1997. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
https://irvanogie.wordpress.com/2013/09/10/501/
http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/kompetensi-peradilan-tata-usaha-negara.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar