PEMBAHASAN
1.
Pengertian Peradilan
Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara)
Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan
yang menentang absolutisme sehingga sipatnya dapat dikatakan sangat
revolusioner dan bertumpu pada sistem kontinental yang disebut civil law atau
modern roman law yang karakteristiknya adalah administratif. Dan hal ini lahir
karena dilatar belakangi oleh kekuasaan raja yang sangat menonjol pada saat itu
di negara Romawi. Dan adapun konsep dari peradilan administrasi negara
merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus ciri yang menonjol
pada rechsstaat.
Tata
Usaha Negara menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah administrasi
negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik
di pusat maupun di daerah.
2.
Urgensi
Peradilan Adminitrasi Negara
Penyelenggaraan
peradilan administrasi negara ( peradilan tata usaha negara) di Indonesia
merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum
terhadap rakyat secara maksimal.
Perlindungan
hukum terhadap rakyat atas tindak pemerintah tidak dapat ditampung oleh
peradilan umum yang ada. Oleh sebab itu, maka harus ada peradilan khusus yang
dapat menyelesaikan masalah tersebut yakni peradilan administrasi.
3.
Kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi
menurut kamus besar bahasa indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk
menentukan (memutuskan sesuatu). Adapun kompetensi dari suatu pengadilan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan
tingkat pengadilan yang ada berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Didalam Peradilan Tata Usaha Negara
ada dua kompetensi yang dimiliki, yakni kompetensi absolute dan kompetensi
relatif.
a. Kompetensi
absolut
Kompetensi
absolut merupakan wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain,
baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan lain (pengadilan agama, pengadilan
umum, pengadilan militer).
Kompetensi
absolut badan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana tertuang dalam pasal 1
butir 4 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No.
5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memeriksa
sengketa tata usaha Negara yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara
orang perorangan atau badan hukum perdata dengan pejabat atau badan tata usaha
negara baik ditingkat pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kompetensi absolut badan peradilan tata usaha juga tertuang
dalam pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun perlu diperhatikan, bahwa ada beberapa
keputusan tata usaha Negara dan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha
Negara dan termasuk dalam lingkup pejabat tata usaha Negara sebagai bagian
dalam pelaksanaan tugas-tugasnya di bidang administrasi Negara, namun keputusan
yang dikeluarkan tersebut tidak dapat dikeluarkan tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai obyek sengketa tata usaha Negara. Adapun beberapa
keputusan yang dimaksud dapat dilihat dalam pasal 2 beserta penjelasan UU No. 5
Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang meliputi:
1. Keputusan
tata usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. Merupakan keputusan
tata usaha Negara yang dikeluarkan berkaitan dengan lapangan hukum keperdataan,
seperti masalah jual-beli, sewa menyewa, dll. Yang dilakukan antara instansi
pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
2. Keputusan
tata usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, merupakan
peraturan yang memuat norma-norma hukum dan dituangkan dalam bentuk peraturan
yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
3. Keputusan
tata usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan adalah keputusan yang untuk berlaku masih
memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain.
4. Keputusan
tata usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. Hal ini merupakan
kewenangan dari peradilan umum dalam kaitannya dengan kasus-kasus kepidanaan.
5. Keputusan
tata usaha Negara atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan keputusan hakim
peradilan-peradilan lain, seperti peradilan umum beserta peradilan yang berada
dalam lingkungan pengadilannya, pengadilan militer dan pengadilan agama.
6. Keputusan
tata usaha Negara yang mengenai tata usaha negara Tentara Nasional Indonesia,
merupakan
dikeluarkan keputusan /penetapan yang dikeluarkan di lingkungan tata usaha
Negara TNI.
7. Keputusan
Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
b.
Kompetensi relatif
Kompetensi relatif Peradilan Tata Usaha Negara
tertuang dalam pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah untuk
kedua kalinya dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, meliputi:
1.
Tempat kedudukan tergugat, yang dimaksud
adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menururt hukum.
2.
Tempat kedudukan salah satu tergugat.
Jika pihak tergugat yang menjadi tergugat lebih dari satu badan/pejabat tata
usaha Negara, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerahnya hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu
badan atau pejabat tata usaha Negara yang menjadi tergugat tersebut.
3.
Tempat kedudukan penggugat untuk
diteruskan kepada PTUN di tempat tergugat. Apabila tempat kedudukan tergugat
berada di luar daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat
disampaikan kepada PTUN tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada PTUN
yang bersangkutan.
4.
Tempat kedudukan penggugat, terhadap
sengketa tata usaha Negara tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah .
gugatan dapat diajukan di PTUN tempat penggugat berdomisili.
5.
PTUN Jakarta, dalam hal penggugat dan
tergugat berkedudukan atau berada diluar negeri, gugatan diajukan pada PTUN
Jakarta.
6.
Apabila tergugat berada di dalam negeri
dan penggugat berada di luar negeri, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan
di tempat kedudukan tergugat.
4.
Kasus-kasus di dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
GUGATAN
TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 71/M TAHUN 2000.
1. Posisi
Kasus.
Keputusan
presiden Nomor 71/M Tahun 2000 yang memberhentikan Parni Hadi dari jabatannya selaku Pimpinan Lembaga Kantor
Berita Nasional ANTARA (LKBN ANTARA) dan
menggantikannya dengan Mohammad Sobary
telah mendatangkan sejumlah kontroversi. Sebagaimana diketahui bahwa Parni Hadi melalui kuasa hukumnya telah
menggugat keabsahan Keppres tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Tulisan ini
tidak dimaksud membahas surat gugatan tersebut, tetapi lebih memfokuskan kepada
wewenang Presiden membuat/ mengeluarkan Keputusan Presiden dan apakah Keppres
dapat dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara (TUN), khususnya Keppres Nomor
71/M Tahun 2001 tersebut. Adapun bunyi dari keputusan presiden tersebut adalah
sebagai berikut:
Keputusan
Presiden Republik Indonesia
Nomor
71/ M Tahun 2000
Presiden
Republik Indonesia,
Menimbang :
a. Bahwa
untuk mewujudkan kemandirian Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA” dari
pengaruh Pemerintah, dipandang perlu menyiapkan Pimpinan Lembaga Kantor Berita
Nasional “ANTARA” yang tidak berpihak secara politik;
b. Bahwa
berhubung dengan itu, perlu mengangkat Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional
“ANTARA” yang baru menggantikan pejabat lama, saudara Parni Hadi;
c. Bahwa
saudara Drs. Mohammad Sobary, MA. Dianggap mampu dan cakap untuk diangkat
sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”.
Mengingat :
1. Pasal
4 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945;
2. Keputusan
Presiden Nomor 85 Tahun 1966 tentang Peraturan Dasar Lembaga Kantor Berita
Nasional “ANTARA”.
Memutuskan:
Menetapkan :
Pertama: Memberhentikan
dengan hormat Saudara Parni Hadi dari jabatannya sebagai Pimpinan Lembaga
Kantor Berita Nasional “ANTARA”, disertai ucapan terima kasih atas pengabdian
dan jasa-jasanya selama memangku jabatan tersebut;
Kedua
: Mengangkat Saudara Drs.
Mohammad Sobary. MA. Sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”;
Ketiga
: Keputusan presiden ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Salinan
Keputusan Presiden ini disampaikan kepada:
1. Ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2. Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat;
3. Ketua
Dewan Pertimbangan Agung;
4. Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan;
5. Para
Menteri Negara Kabinet periode Tahun 1999-2004;
6. Para
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
7. Kepala
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara di Jakarta.
Petikan
Keputusan Presiden ini disampaikan kepada yang bersangkutan untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan
di Jakarta
Pada
tanggal 17 maret 2000
Presiden
Republik Indonesia
Ttd.
Abdurrahman
Wahid
Disalin
sesuai dengan aslinya:
Sekretaris Kabinet,
Ttd
Marsilam Simandjuntak
2.
Analisis Kasus.
a. Wewenang
Legislatif Presiden.
Sebagaimana
diketahui dalam realitasnya kekuasaan presiden dibidang legislatif tidak hanya
bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) membuat Undang-undang (UU), tetapi
juga secara mandiri dapat membuat/ mengeluarkan produk hukum yang lainnya, yaitu;
peraturan pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres).
Kekuasaan
Presiden membuat Peraturan Pemerintah didasarkan kepada wewenang yang diberikan
oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
Undang-undang sebagaimana mestinya.” Dalam realitasnya ketentuan pasal ini
mempunyai dua tafsir, yaitu; (1) suatu Peraturan Pemerintah hanya dapat
dikeluarkan oleh Presiden, apabila dalam salah satu pasal dari Undang-undang
tersebut secara tegas mengatakan membutuhkan suatu Peraturan Pemerintah
(delegasi), misalnya; Pasal 8 ayat (3) UU 23/ 1997 (UUPLH) yang menyebutkan “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah’. Tafsir ini membawa
konsekuensi, apabila suatu Peraturan Pemerintah dikeluarkan oleh presiden tanpa
memiliki wewenang delegasi, maka Peraturan Pemerintah tersebut menjadi tidak
sah. Dengan demikian berdasarkan tafsir ini ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945
tidak secara otomatis memberikan wewenamg delegasi, maka Peraturan Pemerintah
setiap dikeluarkan suatu UU. (2) suatu Peraturan Pemerintah dapat saja
dikeluarkan meskipun dalam suatu Undaang-undang tidak secara tegas menyebutkan
agar diatur lebih lanjut dalam suatu Peraturan Pemeriah. Implikasi dari tafsir
ini adalah bahwa suatu Peraturan Pemerintah dapat mereduksi bahkan mencaplok
materi muatan dari Undang-undang. Disamping itu, presiden tidak segera tahu
pasal-pasal mana saja dari suatu Undang-undang yang memerlukan pengaturan lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan
wewenang Presiden membuat/ mengeluarkan Keputusan Presiden tidak ditemukan
dasar hukumnya dalam UUD 1945. Namun, seperti Prof. A. Hamid. S. Attamimi berpendapat bahwa Keputusan Presiden
merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden Republik Imdonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut
Undang-undang Dasar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, Presiden
adalah pemegang kekuasaan legislatif (dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Daerah). Pendapat ini didasarkan kepada pendapatnya Jellinek yang mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti formal
mengandung kekuasaan mengatur (verordnungsgewalt) dan kekuasaan
memutus (entscheidungsgewalt), sedangkan pemerintahan dalam arti material
mengandung unsur melaksanakan (das
element der regierung und das der vollziehung). Selain mengutip pendapatnya Jellinek untuk lebih menguatkan
pendapatnya Prof. Hamid juga mengutip
pendapatnya Van Vallenhoven yang mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti luas
itu meliputi fungsi ketataprajaan (bestuur), keamanan/ kepolisian (politie),
dan pengaturan (regeling), sedangkan fungsi peradilan (rechspraak) itu
dipisahkan karena adanya wawasan negara berdasar atas hukum.
Dengan adanya
kekuasaan Pemerintahan tersebut menurut Prof.
Hamid bahwa Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengatur segala sesuatu di
Negara Republik Indonesia, hanya saja kekuasaan mengatur ini mempunyai suatu
batasan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa apabila
Presiden akan membentuk Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Dengan perkataan ini apabila Presiden akan mengatur dengan jalur
legislatif, presiden harus mendapatkan persetujuan DPR, yaitu dalam membentuk
suatu Undang-undang, sedangkan apabila Presiden hendak mengatur dengan jalur
eksekutif dapat dilaksanakan dengan pembentukan suatu Keputusan Presiden
sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1)UUD 1945.
Dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan suatu Keputusan Presiden tidak dapat lahir dari
“perut” Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 atau yang disebut dengan wewenang atribusi,
tetapi juga dapat lahir dari suatu peraturan perundang-undangan yang derajatnya
lebih tinggi yang dalam hal ini adalah Undang-undang (UU) atau Peraturan
Pemerintah (PP) atau yang dikenal dengan wewenang delegasi. Keputusan Presiden
yang lahir dari “perut” Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 materi muatannya sulit terkontrol,
karena beberapa alasan; (1) untuk mengeluarkannya tidak memerlukan dasar hukum
lain, sehingga dapat membawa implikasi muatan materinya dapat bertentangan atau
bahkan mencaplok lahan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih
tinggi; (2) untuk berlakunya tidak memerlukan pesetujuan dari lembaga lain
termasuk DPR. Oleh karenanya, Keputusan Presiden jenis ini sangat potensial
“dimanfaatkan” untuk melegitimasi kekuasaan atau meminjam istilah Daniel Lev sebagai “kekuasaan oleh hukum” bukan “kekuasaan
berdasarkan hukum” yang pertama menunkjuk kepada hukum sebagai suatu sarana
kekuasaan, sedangkan yang kedua menunjuk kepada hukum sebagai mengikat
kekuasaan. Sementara itu, Keputusan Presiden yang lahir dari wewenang delegasi
dalam prakteknya juga tidak selamanya sebagai pengaturan tindak yang secaaara
tegas-tegas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan
wewenang delegasi. Dengan demikian Keputusan Presiden dapat lahir dari 3 (tiga)
sumber: (1) berdasarkanwewenang atribusi dari pasal4 ayat (1) UUD 1945; (2)
berdasarkan wewenang delegasi yang secara tegas disebutkan dalam suatu UU atau
PP; (3) berdasarkan wewenang delegasi yang tidak secara tegas disebutkan dalam
suatu UU atau PP. Keadaan ini sangat potensial melahirkan hukum yang tidak
adil, hukum yang hanya mementingkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu
saja, yang pada gilirannya hukum menjadi kehilangan substansinya, seperti yang
disinyalir Lev diatas.
Ditinjau dari
segi materi muatannya baik Keputusan Presiden yang lahir dari wewenang atribusi
(Pasal 4 ayat (1) UUD 1945) dan yang lahir dari wewenang delegasi (pelimpahan
wewenang dari UU atau PP) dapat dikelompokkan menjadi Keputusan Presiden yang
materi muatannya bersifat pengaturan (regeling), misalnya; Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, dan Keputusan Presiden yang materi muatannya bersifat
penetapan (beschikking) atau dalam
bahasa UU/1986 disebut dengan istilah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
DAFTAR PUSTAKA
Cahyawati, Dwi Putri. 2011. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. PT. Gramata
Publishing; Jakarta
Harahap,
Zairin. 1997. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
https://irvanogie.wordpress.com/2013/09/10/501/
http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/kompetensi-peradilan-tata-usaha-negara.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar