A.
Supra Struktur Politik (dalam teori pembagian
kekuasaan)
Fungsi
– fungsi Negara atau pemerintah dapat dilakukan dengan beberapa struktur, atau
dengan satu struktur. Apabila dalam penyelenggaraan fungsi Negara terpusat pada
satu tangan atau struktur, maka biasanya dilakukan oleh seorang dictator atau
kerajaan absolut. Tetapi, apabila penyelenggaraan fungsi Negara dilakukan
dengan pemisahan atau adanya pembagian fungsi Negara kepada beberapa struktur
Negara yang satu sama lain terpisah dan berdiri sendiri, maka biasanya berlaku
di negara yang menganut sistem demokratis.
Secara
harfiah, pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki
oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) menjadi
beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada
beberapa lembaga Negara untuk meghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada
satu pihak atau lembaga.
Ide
pembagian kekuasaan tersebut bersumberkan; pertama,
pada pendapat John Locke, dalam bukunya yang berjudul Two Treaties of Government yang terbit tahun 1690 mengusulkan agar
kekuasaan didalam Negara itu dibagi dalam organ-organ Negara yang mempunyai
fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya agar pemerintah tidak sewenang-wenang,
maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaa-kekuasaan ke dalam tiga macam
kekuasaan, yaitu:
1. Kekuasaan
Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan
Eksekutif (menjalankan undang-undang)
3. Kekuasaan
Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain)
Pendapat
John Locke ini mendasari muncul pembagan-pembagian kekuasaan sebagai gagasan
awal untuk menghindari adanya kekuasaan (absolut) dalam suatu Negara. Kedua,
pada pendapat Montesquieu. Ia seorangpemikir berkebangsaan Prancis mengemukakan
teorinya yang disebut Trias Politica.
Menurut Montesquieu, untuk tegaknya Negara demokrasi perlu diadakan pemisahan
kekuasaan Negara ke dalam tiga organ, yaitu:
1. Kekuasaan
Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan
Eksekutif (menjalankan undang-undang)
3. Kekuasaan
Yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang)
Dalam
teori pembagian kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu yang dikemukakan
di atas, ternyata ada dua aspek penafsiran, yaitu “separation of power dan distribution
of power”. Konsep separation of power
di artikan sebagai pemisahan
secara tegas fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif.
Oleh
karena lembaga politik tersebut menjalankan fungsinya masing-masing maka tidak
terjadi overlapping dalam menjalankan fungsinya. Ketiga lembaga memiliki kekuasaan
yang sama kuat dan tidak ada celah untuk saling mencampuri, sehingga akan
terjadi keseimbangan dalam kekuasaan. Adapun konsep distribution of power diartikan sebagai “pembagian kekuasaan”.
Penafsiran mengenai pembagian kekuasaan yaitu bahwa masing-masing lembaga
politik mendapat porsi atau bobot tugas yang sama atau seimbang, atau juga
mungkin pembagian pembagian kekuasaan tidak seimbang antara kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam
ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah pemisahan kekuasaan (separation of power ) itu sendiri
cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolute. Menurut
UUD 1945, konstitusi kita tidak secara
murni atau utuh mengikuti konsep teori " separation of power” seperti dalam Trias Politika, tetapi lebih
cenderung mengikuti konsep “distribution
of power”. Pembagian kekuasaan ketig lembaga politik tersebut terdapat
celah untuk saling bekerja sama. Seperti misalnya, kerja sama antara legislatif
dan eksekutif dalam hal penetapan setiap RUU mendapat ketetapan dibahas secara
bersama-sama.
B.
Infra Struktur Politik (dalam teori pembagian
kekuasaan)
Infra
struktur politik merupakan struktur politik masyarakat artinya, merupakan
struktur, atau bangunan, pranata, yang tidak nampak secara jelas, atau tidak
terlihat wujudnya, namun keberadaannya dapat dirasakan karena adanya
fungsi-fungsi yang mengalir. Oleh karena itu, infra struktur politik dalam
kenyataannya dapat mempengaruhi peemerintah (penguasa), dengan cara masyarakat
mengemukakan, menyalurkan tuntutan, dukungan, dan masalah lainnya yang
menyangkut dengan kepentingan umum. Infra struktur politik suatu Negara pada
umumnya terdiri atas lima komponen, yaitu: 1) Partai Politik (political party), 2) Golongan
kepentingan (interest group), 3) Golongan
penenkan (pressure group), 4) Alat
komunikasi politik (media of political
communication), dan 5) Tokoh politik (political
figure).
1. Partai
Politik (Political Party)
Partai
politk adalah salah satu komponen yang penting di dalam dinamika perpolitikan
sebuah bangsa. Karena itu, di dalam sistem politik telah menempatkan partai
politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tidak ada demokrasi
tanpa partai politik. Melalui partai politik dipandang sebagai salah satu cara
seseorang atau sekelompok individu untuk meraih kekuasaan.
Menurut
Edmund Burke dalam Kartaprawira (1985: 67), pengertian partai politik adalah
“suatu kumpulan manusia untuk memajukan keinginan-keinginan bersamanya, yaitu
kepentingan nasional melalui prinsip-prinsip khusus yang sudah disepakati”.
Senada dengan itu Maurice Duverger dalam Kartaprawira (1985: 67) mengemukakan
partai politik adalah “sekumpulan manusia yang mempunyai doktrin politik yang
sama”. Partai politik memiliki beberapa fungsi, yaitu: a) pendidikan politik,
b) sosialisasi politik, c) rekrutmen politik dan d) komunikasi politik.
2. Golongan
kepentingan, golongan penekan, dan tokoh politik
Menurut
Greenwald dalam Irfan Islamy (1993: 8,18), “kelompok kepentingan adalah suatu
himpunan orang-orang yang bertujuan mengejar kepentingan bersama melalui
serangkaian aktivitas yang disepakati”.
Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa kelompok kepentingan adalah suatu kelompok yang mempunyai tujuan
untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan tertentu. Kelompok kepentingan ini
bergerak di berbagai macam aktivitas seperti perdagangan, industry, pertanian,
peternakan, sosial, budaya, dan seterusnya. Dalam sistem politik,
kelompok kepentingan ini sering dikatakan sebagai “the second ring of policy making”, yaitu untuk menggambarkan
peranan kelompok kepentingan pihak yang
terlibat secara tidak resmi dalam mempengaruhi proses perumusan atau pembuatan
kebijakan.
Kelompok
penekan (pressure group) adalah suatu
kelompok yang mempunyai tujuan yang dikaitkan dengan suatu masalah atau keadaan
dalam masyarakat yang memerlukan perubahan atau perbaikan. Cara untuk mencapai
tujuan tersebut dilakukan dengan cara yang lebih keras atau memaksa. Sementara
itu tokoh politik adalah seseorang yang dikenal masyarakat luas, karena jasanya
pemikirannya, idealismenya, dan perjuangannya selama perjalanan hidupnya.
Sumber Bacaan:
Maksudi.
2012. Sistem Politik Indonesia (Pemahaman
Secara Teoretik dan Empirik). Rajawali Pers. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar