Senin, 19 Juni 2017

suprastruktur dan infrastruktur politik

A.   Supra Struktur Politik (dalam teori pembagian kekuasaan)
Fungsi – fungsi Negara atau pemerintah dapat dilakukan dengan beberapa struktur, atau dengan satu struktur. Apabila dalam penyelenggaraan fungsi Negara terpusat pada satu tangan atau struktur, maka biasanya dilakukan oleh seorang dictator atau kerajaan absolut. Tetapi, apabila penyelenggaraan fungsi Negara dilakukan dengan pemisahan atau adanya pembagian fungsi Negara kepada beberapa struktur Negara yang satu sama lain terpisah dan berdiri sendiri, maka biasanya berlaku di negara yang menganut sistem demokratis.
Secara harfiah, pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk meghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak atau lembaga.
Ide pembagian kekuasaan tersebut bersumberkan; pertama, pada pendapat John Locke, dalam bukunya yang berjudul Two Treaties of Government yang terbit tahun 1690 mengusulkan agar kekuasaan didalam Negara itu dibagi dalam organ-organ Negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaa-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu:
1.      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2.      Kekuasaan Eksekutif (menjalankan undang-undang)
3.      Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain)
Pendapat John Locke ini mendasari muncul pembagan-pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya kekuasaan (absolut) dalam suatu Negara. Kedua, pada pendapat Montesquieu. Ia seorangpemikir berkebangsaan Prancis mengemukakan teorinya yang disebut Trias Politica. Menurut Montesquieu, untuk tegaknya Negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan Negara ke dalam tiga organ, yaitu:
1.      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2.      Kekuasaan Eksekutif (menjalankan undang-undang)
3.      Kekuasaan Yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang)
Dalam teori pembagian kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu yang dikemukakan di atas, ternyata ada dua aspek penafsiran, yaitu “separation of power dan distribution of power”. Konsep separation of power di artikan sebagai pemisahan secara tegas fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif.
Oleh karena lembaga politik tersebut menjalankan fungsinya masing-masing maka tidak terjadi overlapping dalam menjalankan fungsinya. Ketiga lembaga memiliki kekuasaan yang sama kuat dan tidak ada celah untuk saling mencampuri, sehingga akan terjadi keseimbangan dalam kekuasaan. Adapun konsep distribution of power diartikan sebagai “pembagian kekuasaan”. Penafsiran mengenai pembagian kekuasaan yaitu bahwa masing-masing lembaga politik mendapat porsi atau bobot tugas yang sama atau seimbang, atau juga mungkin pembagian pembagian kekuasaan tidak seimbang antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah pemisahan kekuasaan (separation of power ) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolute. Menurut UUD 1945, konstitusi kita tidak  secara murni atau utuh mengikuti konsep teori " separation of power” seperti dalam Trias Politika, tetapi lebih cenderung mengikuti konsep “distribution of power”. Pembagian kekuasaan ketig lembaga politik tersebut terdapat celah untuk saling bekerja sama. Seperti misalnya, kerja sama antara legislatif dan eksekutif dalam hal penetapan setiap RUU mendapat ketetapan dibahas secara bersama-sama.
B.   Infra Struktur Politik (dalam teori pembagian kekuasaan)
Infra struktur politik merupakan struktur politik masyarakat artinya, merupakan struktur, atau bangunan, pranata, yang tidak nampak secara jelas, atau tidak terlihat wujudnya, namun keberadaannya dapat dirasakan karena adanya fungsi-fungsi yang mengalir. Oleh karena itu, infra struktur politik dalam kenyataannya dapat mempengaruhi peemerintah (penguasa), dengan cara masyarakat mengemukakan, menyalurkan tuntutan, dukungan, dan masalah lainnya yang menyangkut dengan kepentingan umum. Infra struktur politik suatu Negara pada umumnya terdiri atas lima komponen, yaitu: 1) Partai Politik (political party), 2) Golongan kepentingan (interest group), 3) Golongan penenkan (pressure group), 4) Alat komunikasi politik (media of political communication), dan 5) Tokoh politik (political figure).

1.      Partai Politik (Political Party)
Partai politk adalah salah satu komponen yang penting di dalam dinamika perpolitikan sebuah bangsa. Karena itu, di dalam sistem politik telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tidak ada demokrasi tanpa partai politik. Melalui partai politik dipandang sebagai salah satu cara seseorang atau sekelompok individu untuk meraih kekuasaan.
Menurut Edmund Burke dalam Kartaprawira (1985: 67), pengertian partai politik adalah “suatu kumpulan manusia untuk memajukan keinginan-keinginan bersamanya, yaitu kepentingan nasional melalui prinsip-prinsip khusus yang sudah disepakati”. Senada dengan itu Maurice Duverger dalam Kartaprawira (1985: 67) mengemukakan partai politik adalah “sekumpulan manusia yang mempunyai doktrin politik yang sama”. Partai politik memiliki beberapa fungsi, yaitu: a) pendidikan politik, b) sosialisasi politik, c) rekrutmen politik dan d) komunikasi politik.
2.      Golongan kepentingan, golongan penekan, dan tokoh politik
Menurut Greenwald dalam Irfan Islamy (1993: 8,18), “kelompok kepentingan adalah suatu himpunan orang-orang yang bertujuan mengejar kepentingan bersama melalui serangkaian aktivitas yang disepakati”.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa kelompok kepentingan  adalah suatu kelompok yang mempunyai tujuan untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan tertentu. Kelompok kepentingan ini bergerak di berbagai macam aktivitas seperti perdagangan, industry, pertanian, peternakan, sosial, budaya, dan seterusnya. Dalam sistem politik, kelompok kepentingan ini sering dikatakan sebagai “the second ring of policy making”, yaitu untuk menggambarkan peranan kelompok kepentingan  pihak yang terlibat secara tidak resmi dalam mempengaruhi proses perumusan atau pembuatan kebijakan.

Kelompok penekan (pressure group) adalah suatu kelompok yang mempunyai tujuan yang dikaitkan dengan suatu masalah atau keadaan dalam masyarakat yang memerlukan perubahan atau perbaikan. Cara untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan cara yang lebih keras atau memaksa. Sementara itu tokoh politik adalah seseorang yang dikenal masyarakat luas, karena jasanya pemikirannya, idealismenya, dan perjuangannya selama perjalanan hidupnya.

Sumber Bacaan:

Maksudi. 2012. Sistem Politik Indonesia (Pemahaman Secara Teoretik dan Empirik). Rajawali Pers. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar