Minggu, 09 Juli 2017

Karakter Rasa Ingin Tahu

1.      Tinjauan Tentang Rasa Ingin Tahu
a.      Konsep Rasa Ingin Tahu
Rasa ingin tahu merupakan salah satu dari nilai 18 karakter bangsa yang terkandung dalam pendidikan karakter yang di dalamnya terdapat pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti atau pendidikan moral yang tujuannya untuk mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara nilai-nilai yang baik, dan menerapkan nilai-nilai baik tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
            Rasa ingin tahu (Mustari, 2011: 103) adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluar dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, atau didengar. Hal serupa juga dikemukakan oleh Muchlis & Hariyanto (2012: 119) bahwa “rasa ingin tahu adalah keinginan untuk meyelidiki, dan mencari pemahaman terhadap rahasia alam atau peristiwa sosial yang terjadi”. Rasa ingin tahu merupakan bagian penting dari proses pembelajaran karena rasa ingin tahu mendorong terwujudnya kebermaknaan dalam belajar sehingga rasa ingin tahu merupakan jiwa dan hakikat budaya belajar (Asrori, 2008). Keingintahuan seorang siswa dapat dicirikan dengan seringnya bertanya dan mencari tahu tentang sesuatu yang sedang dihadapi. Melalui rasa ingin tahu, seseorang terdorong untuk mempelajari lebih lanjut tentang pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.
            Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang menjadi sebab penting mengapa rasa ingin tahu ini perlu dibangun dan dikembangkan dalam diri peserta didik antara lain (Kurniawan, 2016: 148) :
1)      rasa ingin tahu membuat pikiran peserta didik menjadi aktif. Tidak ada hal yang lebih bermanfaat sebagai modal belajar selain pikiran yang aktif. Peserta didik yang pikirannya aktif akan belajar dengan baik, sebagaimana yang dijelaskan teori kontruktivisme, dimana peserta didik dalam belajar harus secara aktif membangun pengetahuannya.
2)      Rasa ingin tahu membuat peserta didik menjadi para pengamat yang aktif. Salah satu cara belajar yang terbaik adalah dengan mengamati. Banyak ilmu pengetahuan yang berkembang karena berawal dari sebuah pengamatan, bahkan pengamatan yang sederhana sekalipun. Rasa ingin tahu membuat peserta didik lebih peka dalam mengamati berbagai fenomena atau kejadian di sekitarnya. Ini berarti, siswa akan belajar banyak.
3)      Rasa ingi tahu akan membuka dunia-dunia baru yang menantang dan menarik peserta didik untuk mempelajarinya lebih dalam. Jika ada banyak hal yang membuat munculnya rasa ingin tahu pada diri peserta didik, jendela dunia-dunia baru yang menantang akan terbuka buat mereka, Banyak hal menarik untuk dipelajari di dunia ini, tetapi seringkali karena rasa ingin tahu yang rendah membuat seorang peserta didik melewatkan dunia-dunia yang menarik itu dengan entengnya.

4)      Rasa ingin tahu membawa kejutan-kejutan kepuasan dalam diri peserta didik dan meniadakan rasa bosan untuk belajar. Jika jiwa peserta didik dipenuhi dengan rasa ingin tahu akan sesuatu, mereka akan dengan segala keinginan dan kesukarelaan akan mempelajarinya. Setelah memuaskan rasa ingin tahunya, mereka akan merasakan betapa menyenangkannya hal tersebut. Kejutan-kejutan kepuasan ini akan meniadakan perasaan bosan belajar.

Berpikir kritis

1.      Tinjauan Tentang Berpikir Kritis
a.      Konsep Berpikir Kritis
            Berpikir kritis adalah suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan seseorang; pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut (Khaeruman & Nurhidayati, 2014: 20). Kemudian Khaeruman & Nurhidayati (2014) melanjutkan, berpikir kritis adalah “sebuah proses proses terorganisasi yang memungkinkan siswa mengevaluasi bukti, asumsi, logika, dan bahasa yang mendasari pernyataan orang lain”.
            Jhonson (Khaeruman & Nurhidayati, 2014: 20) mengatakan berpikir kritis adalah “sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri”. Di sisi lain, Jhon W Santrack mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah “pemikiran reflektif dan produktif dan melibatkan evaluasi bukti”. Berpikir kritis dapat juga dikatakan sebuah proses kognitif yang sistematis dan aktif dalam menilai argument-argumen, menilai sebuah kenyataan, menilai kekayaan, dan hubungan dua atau lebih objek serta memberikan bukti-bukti untuk menerima atau menolak sebuah pernyataan. Para pemikir-pemikir aliran kritis mengakui bahwa  tidak hanya ada satu cara yang benar atau tepat untuk memahami dan mengevaluasi argumen-argumen dan bahwa semua usaha di atas tidak menjamin keberhasilannya. Berpikir kritis merupakan suatu proses penggunaan kemampuan berpikir secara efektif yang dapat membantu seseorang untuk membuat, mengevaluasi, serta mengambil keputusan tentang apa yang diyakini atau dilakukan.
      Adapun enam unsur dasar dalam berpikir kritis, yaitu (Khaeruman & Nurhidayati, 2014: 20-21) :
1)      Fokus (focus), langkah awal dari berpikir kritis adalah mengidentifikasi masalah dengan baik.
2)      Alasan (reason), apakah alasan-alasan yang diberikan logis atau tidak untuk disimpulkan seperti yang tercantum dalam fokus.
3)      Kesimpulan (inference), jika alasannya tepat, apakah alasan itu cukup sampai pada kesimpulan yang diberikan.
4)      Situasi (situation), mencocokkan dengan situasi yang sebenarnya.
5)      Kejelasan (clarity), harus ada kejelasan mengenai istilah-istilah yang dipakai dalam argumen tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan dalam membuat kesimpulan, dan
6)      Tinjauan ulang (over review), artinya kita  perlu mencek apa yang sudah ditemukan, diputuskan, diperhatikan, dipelajari dan disimpulkan.

b.      Indikator Berpikir Kritis
      Ennis (2007) (Khaeruman & Nurhidayati, 2014: 21) mengidentifikasi indikator berpikir kritis,yang dapat dikelompokkan dalam lima besar aktivitas sebagai berikut:
1.      Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi memfokuskan pertanyaan.
2.      Menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pertanyaan.
3.      Membangun keterampilan dasar, yang terdiri dari atas mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
4.      Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendedukasikan atau mempertimbangkan hasil deduksi, meniduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan.
5.      Memberikan penjelasan lanjtu, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
6.      Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan berintraksi dengan orang lain.
      Indikator-indikator tersebut dalam prakteknya dapat bersatu padu membentuk sebuah kegiatan atau terpisah-pisah hanya beberapa indikator saja.


Selasa, 20 Juni 2017

Masalah Kontemporer

Masalah-masalah kontemporer kewarganegaraan di Indonesia

Di dalam sebuah negara pasti ada pemerintah dan yang diperintah yaitu warga negara. Di negara mana pun pastilah terdapat permasalahan-permasalahan yang terjadi baik itu antar suku, kelompok maupun pemerintah dan masyarakat. Semua itu biasanya tidak lepas dari sebuah kebijakan yang ada dalam sebuah negara tersebut. Kita sering mendengar bahkan melihat negara-negara terbesar di dunia pun memiliki masalah. Sebuah negara itu tidak akan pernah terlepas dari masalah karena apapun yang terjadi di sebuah negara itu menyangkut hidup orang yang banyak dan biasanya karena banyak orang itulah maka banyak sekali permasalahan yang muncul. Sebenarnya dari zaman ke zaman masalah yang muncul adalah masalah yang sama. Permasalahan dimana sampai saat ini belum bisa dipecahkan secara sempurna. Biasanya kita sering menyebut masalah yang sedang terjadi sekarang ini adalah masalah kotemporer dimana kita sedang merasakan masalah tersebut. Di Indonesia banyak sekali masalah-masalah kontemporer yang dialami oleh warga negaranya. Bahkan masalah tersebut merupakan masalah pada zaman dahulu namun sampai saat ini pun masalah tersebut masih saja ada dan belum bisa terselesaikan. Masalah-masalah kontemporer yang ada di Indonesia, yaitu:
1.      Masalah disintegrasi
 Masalah kontemporer kewarganegraan pertama ialah masalah disintegrasi. Dewasa ini kita mengalami masalah disintegrasi nasional. Tampaknya bukan karena sukuisme dan regionalisme yang semakin menguatkan akan tetapi lebih dikarenakan oleh ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial. Berbagai konflik dan gerakan-gerakan yang hendak melepaskan diri dari NKRI adalah salah satu indikasi adanya disintegrasi yang terjadi di kalangan masyarakat kita. Contohnya adalah Gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Papua Merdeka. Gerakan-gerakan tersebut menginginkan kemerdekaan sendiri untuk membentuk negara baru, dikarenakan merasa diberlakukan secara tidak adil oleh Pemerintah Indonesia sekarang ini. Bagaimana tidak, warga negara kita yang terdiri dari berbagai suku dan pluralitas lainnya yang tak dapat dipungkiri akan dengan mudah menimbulkan disentegrasi dan bahkan konflik atau perpecahan .
 Di dearah-daerah yang bergejolak seperti papua secara politik, sosial dan ekonomi bersifat marginal. Daerah papua yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah namun semua itu dikuasai oleh pemerintahan pusat, bahkan dalam pengembangan pendidikan dan kesehatan mereka masih belum sepenuhnya tersentuh oleh hal itu. Hal ini yang terkait dengan disintegrasi sosial diaman papua tidak merasa memiliki indonesia. Seharusnya pemerintah harus bisa menjaga agar warga negara yang ada di papua tidak merasa diasingkan. Mereka juga harus diberikan kekuasaan otonom untuk mengatur daerahnya dan memberikan saran dan prasarana bagi warga papua agar mereka bisa merasakan apa yang di dapat oleh warga negara di Indonesia yang ada di pusat.
2.      Masalah kemisikinan
 Masalah kontemporer yang kedua adalah kemisikinan. Indonesia bisa dikatakan negara yang kaya, dengan hutan yang dimiliki dan hasil-hasil bumi yang lain. Namun pada kenyataanya Indonesia merupakan negara miskin. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia semakin hari semakin bertambah dikarenakan minimnya perekonomian yang menyebabkan mereka tidak sekolah dan menjadikan mereka sebagai orang yang tidak mempunyai kemampuan sehingga mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Masih banyak sekali warga negara di Indonesia yang tergolong sebagai keluarga miskin hal itu menjadi masalah yang sangat besar karena apa yang ada pada kenyataan bahwa Indonesia kaya akan alamnya namun masih banyak warga yang tinggal di kolong-kolong jembatan dan tidak heran jika kita masih melihat pemandangan  pengemis pinggiran jalan raya, anak-anak kecil yang mengamen di jalan karena tuntutan kebutuhan ekonomi. Kebutuhan yang muncul pun semakin hari semakin meningkat sedangkan pada kenyataanya saat ini sudah tidak seimbang antara kebutuhan masyarakat dengan tingkat ekonomi yang ada.
3.      Kurangnya partisipasi warga negara melalui partai politik
Partai politik merupakan wadah untuk warga negara ikut serta dalam manjalankan kebijakan publik dimana fungsi Partai poltik sendiri adalah sebagai partisipasi politik, komunikasi politik, pengendalian konflik, kontrol politik dan pembuat kebijakan (Cholisin. 2007: 113-115). Kesadaran warga negara akan partai politik harus lebih ditingkatkan karena melalui partai politiklah kita bisa ikut campur dalam pembentukan kebijakan yang ada dan kita bisa mengendalikan isu-isu politik yang tidak sesuai. Warga negara itu harus sadar bahwa dirinya hidup dalam sebuah negara dimana dalam kehidupan bernegara itu adalah kehidupan sosial. Warga negara mempunyai hak positif dalam negara yaitu partisipasi dalam politik. Dengan partisipasi politik inilah warga negara bisa membantu negara dalam memecahkan masalah kontemporer yang terjadi saat ini. Warga negara juga perlu memahami tentang kebijakan publik guna mengatasi masalah kontemporer. Warga negara dituntut untuk ikut aktif dalam pelaksanaan kebijakan di Indonesia karena yang akan merasakan kebijakan itu adalah warga negara maka disinilah peran warga negara untuk mengontrol pemerintahan dengan mengunakan partai politik.            

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KEWARGANEGARAAN DI AMERIKA SERIKAT

1.                  Pengertian
Winataputra, seperti yang dikutip oleh Budimansyah (2008; 4) merumuskan pengertian civics sebagai berikut:
‘’Civics is the study of government taught in the schools. It is an area of learning dealing with how democratic government has been and should be carried out, and how the citizen should carry out his duties and rights purposefully with full responsibility’’.
Beberapa definisi civics berikutnya dikemukakan oleh Stanley Dimond dalam bukunya Civics For Citizens, yang menjelaskan arti civics dengan:‘’Legal status in a country and the activities closely related to the political function: voting, governmental, organization, holding of public office, and legal rights responsibilities’’. (Stanley Dimond, Civics For Citizens, New York, Lippencot,1970: 36).
Dari pandangan tersebut dapat diterjemahkan bahwa civics yang berasal dari bahasa Latin Civics, warga negara, yang membahas warga negara.

2.                  Sejarah Ilmu Kewarganegaraan di Amerika Serikat
Secara historis, mata pelajaran civics untuk pertama kalinya diperkenalkan di USA pada pertengahan tahun 1880-an (Budimansyah, 2008: 2). Civics dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah selama abad ke-19, ketika sebagian besar orang-orang berimigrasi ke Amerika Serikat yang berasal dari benua Eropa seperti Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, Italia, Spanyol, Portugis dan lainnya, dimana anak-anak mereka memiliki pengetahuan yang sedikit sekali tentang masalah Amerika. Itulah sebabnya pemerintah Amerika Serikat berusaha untuk mempersatukan bangsa Amerika melalui kegiatan pendidikan di sekolah.
Pada awalnya pembelajaran dengan istilah “civic” dikenalkan oleh Legiun Veteran Amerika yang tujuannya adalah untuk membangsakan bangsa Amerika yang amat bervariasi ras, budaya dan asal negaranya, (Wahab dan Sapriya, 2011: 3). Menurut Legiun tersebut bahwa hanya dengan memahami nilai-nilai perjuangan dalam membangun bangsa Amerika agar orang Amerika dapat menghargai dan membangun bangsanya secara demokratis dan bertanggung jawab.
Perkembangan civics di Amerika pada awalnya didasarkan pada teori psikologi yang memang sedang menjadi panutan pada saat itu, yaitu “Faculty Psychologi” yang menekankan pada teori yang menyatakan bahwa dalam pelajaran yang terpenting adalah “ mind and body”. Menurut teori ini apabila ada kekeliruan dalam belajar maka yang salah bukanlah terletak pada tubuh melaikan teletak pada pikiran, (Wahab dan Sapriya, 2011 : 4).
Pada tahun 1900-an, berkembang matapelajaran civics yang berisikan materi mengenai struktur pemerintahan negara bagian dan federal ( Gross dan Zeleny dalam Budimansyah, 2010 : 108). Berikutnya Dunn (1915) mengembangkan gagasan new civics yang menitikberatkan pada community living atau kehidupan masyarakat. Dengan demikian, sampai pada tahun 1920-an istilah civics telah digunakan untuk menunjukan bidang pengajaran yang lebih khusus yaitu vocational civics, community civics, dan economic civics atau kewarganegaraan yang berkenaan dengan mata pencaharian, kemasyarakatan, dan perekonomian. Diantara tujuan dari mata pelajaran civics pada tahun 1900-an itu adalah pengembangan social skill and civics competence atau keterampilan sosial dan kompetensi warga negara, dan idea of good character atau ide-ide tentang karakter atau watak yang baik, (Gross dan Zeleny (1958), Allen (1960), Best (1960) dalam Budimansyah, 2010 : 108).
Numan sumantri menggambarkan civics, pada istilah pada zaman Yunani yaitu penduduk sipil yang mempraktekkan demokrasi langsung dalam “negara kota” (polis). Istilah ini kemudian diambil alih oleh Amerika Serikat untuk diguaka sebagai istilah pelajaran demokrasi politik di sekolah-sekolah dan digunakan untuk membedakan dalam pelajaran ilmu politik di universitas-unversitas karena dalam pelajaran civics ini organisasinya akan diorganisir secara psiklogis (psychologically organized). Maksudnya agar civics bias dipahami, dimengerti sesuai dengan tingkat umur pelajar (Numan somantri, 1976:46). Pelajaran civics mulai diperkenalkan pada tahun 1970 di Amerika Serikat dalam rangka mengAmerikakan bangsa Amerika”. Isinya membicarakan mengenai pemerintahan, hak dan kewajiban warga negara.
Seorang ahli bernama Cresshore (1886), pada waktu itu mengartikan civics sebagai ‘ the science of citizenship ‘ atau Ilmu Kewarganegaraan, yang isinya mempelajari hubungan antar individu, dan antara individu dengan negara ( Somantri: 2001).
Menurut Stanley E. Dimond dan Elmer F. Peliger (1970: 5) secara terminologis civics diartikan studi yang berhubungan dengan tugas-tugas pemerintahan dan hak kewajiban warga negara. Pada tahun 1886 civics adalah suatu ilmu tentang kewarganegaraan yang berhubungan dengan manusia sebagai individu dalam suatu perkumpulan yang terorganisir dalam hubungannya dengan negara (Somantri, 1976: 45).
Civics sebagai ilmu kewarganegaraan bermanfaat bagi pemerintah Amerika Serikat dalam rangka mempersatukan warga negaranya. Dari gambaran tersebut, jelaslah bahwa kemunculan Civics dalam tatanan ilmu pengetahuan sangat bermanfaat bagi pemerintah dan warga negara. Civics sebagaimana ilmu politik, memiliki persyaratan-persyaratan ilmu sebagaimana diuraikan di atas, walaupun tidak dapat disamakan dengan ilmu pengetahuan alam. Sebagaimana diuraikan oleh A. Appadorai dalam bukunya The Substance of Politics, (Oxford University Press, London, 1952: 7): ‘’Politics, like other social sciences has a scientific character because the scientific method is applicable to its phenomena, viz. The accumulation of facts, the linking of these together in causal sequences and the generalization from the latter of fundamental principles or laws’’.




ETIKA, MORAL dan NORMA

A.    Pengertian Filsafat Etika
      Secara bahasa etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat istiadat (kebiasaan), kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Sehingga dapat di simpukan etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain.
      Sedangakan filsafat adalah pengetahuan mengenai hakikat segala yang ada sebab, asal dan hukumnya.
1.      Salam
            Merupakan sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
2.      Amin
            Merupakan ilmu yang menjelaskan tentang baik buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia keapada lainya, dan menyatakan tujuan yang harus dituju oleh pebuatan manusia di dalam perbuatan mereka menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
3.      Thoha
            Ilmu yang mengatur pergaulan manusia sesama mereka. Dan juga ilmu yang dapat menentukan tujuan yang trakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.
4.      Kamus besar bahasa indonesia
            Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (ahlak)
5.      Frans Magnis Suseno
            Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran.
6.      Kencana Syafiie
            Etika adalah ilmu yang membahas  tentang  bagaimana  dan  mengapa  kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab  dengan berbagai ajaran moral

Sehingga kami dapat menyimpulkan bahwa etika merupakan suatu ilmu pengetahuan atau hanya teori tentang baik atau buruk.


B.     Pengertian Moral
      Moral berasal dari kata Latin mos, yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Arti secara harafiah yaitu etika dan moralitas sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah di institusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana baiknya sebuah kebiasaan. Moral merupakan suatu ajaran-ajaran ataupun wewenang-wewenang, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
1.      Kamus Besar Bahasa Indonesia
            Moral Merupakan ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, sedangkan pengertian bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk,berahlak baik
2.      Perbedaan Etika Dengan Moral
            Etika semacam penalaah terhadap aktivitas kehidupan manusia di dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan moral merupakan subjek yang menjadi penilai benar atau tidak suatu tindakan.  
            Etika merupakan tingkah laku yang bersifat umum universal berwujud teori dan bermuara ke moral, sedangkan moral bersifat tindakan lokal, berwujud praktek dan berupa hasil buah dari etika. Dalam etika seseorang dapat memahami dan mengerti bahwa mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu, inilah kelebihan etika dibandingkan dengan moral. Kekurangan etika adalah tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang, sebab wewenang ini ada pada ajaran moral. Moral mengajarkan apa yang benar sedangkan etika melakukan apa yang diajarkan oleh moral.
§  Moral mengajarkan bagaimana seharusnya hidup sedangkan etika berbuat atau bertindak sesuai dengan apa yang telah diajarkan dalam pendidikan moral.
§  Moral itu memberikan arah hidup yang harus ditepumpuh sedangkan etika berjalan sesuai arah yang telah ditetapkan (menuju arah )
§  Moral itu seperti kompas dalam kehidupan sedangkan etika memperhatikan dan mengikuti arah kompas dalam menjalani kehidupan.
§  Moral ibarat peta kehidupan sedangkan etika mengikuti peta kehidupan.
§  moral itu pedoman kehidupan sedangkan etika mengikuti pedoman
C.    Pengertian Norma
      Norma adalah aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat warga masyarakat atau kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan, padangan dan pengendali sikap dan tingkah laku manusia. Norma merupakan sebuah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral, dan religi.
Macam-macam Norma
1.      Norma agama, merupakan suatu aturan yang didalamnya terdapat perintah atau larangan yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Apabila ia melanggar atau menjalankan aturan tersebut maka ia akan mendapatkan balasan di ahirat.
2.      Norma hukum, merupakan aturan yang dibuat oleh negara/badan yang bewenang dengan tujuan untuk menjaga ketertiban rakyat atau masyarakat didalam suatu negara. Apbila terdapat pelanggaran maka akan dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan dari peraturan yang ada.
3.      Norma kesopanan, merupakan aturan yang timbul, ada atau hidup di dalam pergaulan antar manusia. Norma kesopakan dibuat berdasarkan patokan/kesepakatan keadaan yang ada didalam masyarkat. Biasanya sanksi yang diberikan kepada pelanggarnya seperti cemohan, dikucilkan, dicaci maki, dan celaan dan hinaan.

4.      Norma kesusilaan, merupakan suatu peraturan yang bersumber dari dalam hati sanubari manusia. Apabila terdapar pelanggaran dalam norma ini maka akan menyebabpkan rasa bersalah pada individunya sendiri.

Senin, 19 Juni 2017

suprastruktur dan infrastruktur politik

A.   Supra Struktur Politik (dalam teori pembagian kekuasaan)
Fungsi – fungsi Negara atau pemerintah dapat dilakukan dengan beberapa struktur, atau dengan satu struktur. Apabila dalam penyelenggaraan fungsi Negara terpusat pada satu tangan atau struktur, maka biasanya dilakukan oleh seorang dictator atau kerajaan absolut. Tetapi, apabila penyelenggaraan fungsi Negara dilakukan dengan pemisahan atau adanya pembagian fungsi Negara kepada beberapa struktur Negara yang satu sama lain terpisah dan berdiri sendiri, maka biasanya berlaku di negara yang menganut sistem demokratis.
Secara harfiah, pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk meghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak atau lembaga.
Ide pembagian kekuasaan tersebut bersumberkan; pertama, pada pendapat John Locke, dalam bukunya yang berjudul Two Treaties of Government yang terbit tahun 1690 mengusulkan agar kekuasaan didalam Negara itu dibagi dalam organ-organ Negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaa-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu:
1.      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2.      Kekuasaan Eksekutif (menjalankan undang-undang)
3.      Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain)
Pendapat John Locke ini mendasari muncul pembagan-pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya kekuasaan (absolut) dalam suatu Negara. Kedua, pada pendapat Montesquieu. Ia seorangpemikir berkebangsaan Prancis mengemukakan teorinya yang disebut Trias Politica. Menurut Montesquieu, untuk tegaknya Negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan Negara ke dalam tiga organ, yaitu:
1.      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2.      Kekuasaan Eksekutif (menjalankan undang-undang)
3.      Kekuasaan Yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang)
Dalam teori pembagian kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu yang dikemukakan di atas, ternyata ada dua aspek penafsiran, yaitu “separation of power dan distribution of power”. Konsep separation of power di artikan sebagai pemisahan secara tegas fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif.
Oleh karena lembaga politik tersebut menjalankan fungsinya masing-masing maka tidak terjadi overlapping dalam menjalankan fungsinya. Ketiga lembaga memiliki kekuasaan yang sama kuat dan tidak ada celah untuk saling mencampuri, sehingga akan terjadi keseimbangan dalam kekuasaan. Adapun konsep distribution of power diartikan sebagai “pembagian kekuasaan”. Penafsiran mengenai pembagian kekuasaan yaitu bahwa masing-masing lembaga politik mendapat porsi atau bobot tugas yang sama atau seimbang, atau juga mungkin pembagian pembagian kekuasaan tidak seimbang antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah pemisahan kekuasaan (separation of power ) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolute. Menurut UUD 1945, konstitusi kita tidak  secara murni atau utuh mengikuti konsep teori " separation of power” seperti dalam Trias Politika, tetapi lebih cenderung mengikuti konsep “distribution of power”. Pembagian kekuasaan ketig lembaga politik tersebut terdapat celah untuk saling bekerja sama. Seperti misalnya, kerja sama antara legislatif dan eksekutif dalam hal penetapan setiap RUU mendapat ketetapan dibahas secara bersama-sama.
B.   Infra Struktur Politik (dalam teori pembagian kekuasaan)
Infra struktur politik merupakan struktur politik masyarakat artinya, merupakan struktur, atau bangunan, pranata, yang tidak nampak secara jelas, atau tidak terlihat wujudnya, namun keberadaannya dapat dirasakan karena adanya fungsi-fungsi yang mengalir. Oleh karena itu, infra struktur politik dalam kenyataannya dapat mempengaruhi peemerintah (penguasa), dengan cara masyarakat mengemukakan, menyalurkan tuntutan, dukungan, dan masalah lainnya yang menyangkut dengan kepentingan umum. Infra struktur politik suatu Negara pada umumnya terdiri atas lima komponen, yaitu: 1) Partai Politik (political party), 2) Golongan kepentingan (interest group), 3) Golongan penenkan (pressure group), 4) Alat komunikasi politik (media of political communication), dan 5) Tokoh politik (political figure).

1.      Partai Politik (Political Party)
Partai politk adalah salah satu komponen yang penting di dalam dinamika perpolitikan sebuah bangsa. Karena itu, di dalam sistem politik telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tidak ada demokrasi tanpa partai politik. Melalui partai politik dipandang sebagai salah satu cara seseorang atau sekelompok individu untuk meraih kekuasaan.
Menurut Edmund Burke dalam Kartaprawira (1985: 67), pengertian partai politik adalah “suatu kumpulan manusia untuk memajukan keinginan-keinginan bersamanya, yaitu kepentingan nasional melalui prinsip-prinsip khusus yang sudah disepakati”. Senada dengan itu Maurice Duverger dalam Kartaprawira (1985: 67) mengemukakan partai politik adalah “sekumpulan manusia yang mempunyai doktrin politik yang sama”. Partai politik memiliki beberapa fungsi, yaitu: a) pendidikan politik, b) sosialisasi politik, c) rekrutmen politik dan d) komunikasi politik.
2.      Golongan kepentingan, golongan penekan, dan tokoh politik
Menurut Greenwald dalam Irfan Islamy (1993: 8,18), “kelompok kepentingan adalah suatu himpunan orang-orang yang bertujuan mengejar kepentingan bersama melalui serangkaian aktivitas yang disepakati”.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa kelompok kepentingan  adalah suatu kelompok yang mempunyai tujuan untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan tertentu. Kelompok kepentingan ini bergerak di berbagai macam aktivitas seperti perdagangan, industry, pertanian, peternakan, sosial, budaya, dan seterusnya. Dalam sistem politik, kelompok kepentingan ini sering dikatakan sebagai “the second ring of policy making”, yaitu untuk menggambarkan peranan kelompok kepentingan  pihak yang terlibat secara tidak resmi dalam mempengaruhi proses perumusan atau pembuatan kebijakan.

Kelompok penekan (pressure group) adalah suatu kelompok yang mempunyai tujuan yang dikaitkan dengan suatu masalah atau keadaan dalam masyarakat yang memerlukan perubahan atau perbaikan. Cara untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan cara yang lebih keras atau memaksa. Sementara itu tokoh politik adalah seseorang yang dikenal masyarakat luas, karena jasanya pemikirannya, idealismenya, dan perjuangannya selama perjalanan hidupnya.

Sumber Bacaan:

Maksudi. 2012. Sistem Politik Indonesia (Pemahaman Secara Teoretik dan Empirik). Rajawali Pers. Jakarta.

Kamis, 27 April 2017

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

 PEMBAHASAN

1.      Pengertian Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara)
             Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan yang menentang absolutisme sehingga sipatnya dapat dikatakan sangat revolusioner dan bertumpu pada sistem kontinental yang disebut civil law atau modern roman law yang karakteristiknya adalah administratif. Dan hal ini lahir karena dilatar belakangi oleh kekuasaan raja yang sangat menonjol pada saat itu di negara Romawi. Dan adapun konsep dari peradilan administrasi negara merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus ciri yang menonjol pada rechsstaat.
            Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 5  tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

2.      Urgensi Peradilan Adminitrasi Negara
            Penyelenggaraan peradilan administrasi negara ( peradilan tata usaha negara) di Indonesia merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal.
            Perlindungan hukum terhadap rakyat atas tindak pemerintah tidak dapat ditampung oleh peradilan umum yang ada. Oleh sebab itu, maka harus ada peradilan khusus yang dapat menyelesaikan masalah tersebut yakni peradilan administrasi.

3.      Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
            Kompetensi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Adapun kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkat pengadilan yang ada berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Didalam Peradilan Tata Usaha Negara ada dua kompetensi yang dimiliki, yakni kompetensi absolute dan kompetensi relatif.
a.       Kompetensi absolut
Kompetensi absolut merupakan wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan lain (pengadilan agama, pengadilan umum, pengadilan militer).
Kompetensi absolut badan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana tertuang dalam pasal 1 butir 4 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memeriksa sengketa tata usaha Negara yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang perorangan atau badan hukum perdata dengan pejabat atau badan tata usaha negara baik ditingkat pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi absolut badan peradilan tata usaha juga tertuang dalam pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun perlu diperhatikan, bahwa ada beberapa keputusan tata usaha Negara dan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha Negara dan termasuk dalam lingkup pejabat tata usaha Negara sebagai bagian dalam pelaksanaan tugas-tugasnya di bidang administrasi Negara, namun keputusan yang dikeluarkan tersebut tidak dapat dikeluarkan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai obyek sengketa tata usaha Negara. Adapun beberapa keputusan yang dimaksud dapat dilihat dalam pasal 2 beserta penjelasan UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang meliputi:
1.      Keputusan tata usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. Merupakan keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan berkaitan dengan lapangan hukum keperdataan, seperti masalah jual-beli, sewa menyewa, dll. Yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
2.      Keputusan tata usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, merupakan peraturan yang memuat norma-norma hukum dan dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
3.      Keputusan tata usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan  adalah keputusan yang untuk berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain.
4.      Keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. Hal ini merupakan kewenangan dari peradilan umum dalam kaitannya dengan kasus-kasus kepidanaan.
5.      Keputusan tata usaha Negara atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan keputusan hakim peradilan-peradilan lain, seperti peradilan umum beserta peradilan yang berada dalam lingkungan pengadilannya, pengadilan militer dan pengadilan agama.
6.      Keputusan tata usaha Negara yang mengenai tata usaha negara Tentara Nasional Indonesia, merupakan dikeluarkan keputusan /penetapan yang dikeluarkan di lingkungan tata usaha Negara TNI.
7.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
b.      Kompetensi relatif
Kompetensi relatif Peradilan Tata Usaha Negara tertuang dalam pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, meliputi:
1.      Tempat kedudukan tergugat, yang dimaksud adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menururt hukum.
2.      Tempat kedudukan salah satu tergugat. Jika pihak tergugat yang menjadi tergugat lebih dari satu badan/pejabat tata usaha Negara, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerahnya  hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan atau pejabat tata usaha Negara yang menjadi tergugat tersebut.
3.      Tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada PTUN di tempat tergugat. Apabila tempat kedudukan tergugat berada di luar daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan kepada PTUN tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada PTUN yang bersangkutan.
4.      Tempat kedudukan penggugat, terhadap sengketa tata usaha Negara tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah . gugatan dapat diajukan di PTUN tempat penggugat berdomisili.
5.      PTUN Jakarta, dalam hal penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada diluar negeri, gugatan diajukan pada PTUN Jakarta.
6.      Apabila tergugat berada di dalam negeri dan penggugat berada di luar negeri, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan di tempat kedudukan tergugat.

4.      Kasus-kasus di dalam Peradilan Tata Usaha Negara.

GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 71/M TAHUN 2000.

1.      Posisi Kasus.
Keputusan presiden Nomor 71/M Tahun 2000 yang memberhentikan Parni Hadi dari jabatannya selaku Pimpinan Lembaga Kantor Berita  Nasional ANTARA (LKBN ANTARA) dan menggantikannya dengan Mohammad Sobary telah mendatangkan sejumlah kontroversi. Sebagaimana diketahui bahwa Parni Hadi melalui kuasa hukumnya telah menggugat keabsahan Keppres tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Tulisan ini tidak dimaksud membahas surat gugatan tersebut, tetapi lebih memfokuskan kepada wewenang Presiden membuat/ mengeluarkan Keputusan Presiden dan apakah Keppres dapat dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara (TUN), khususnya Keppres Nomor 71/M Tahun 2001 tersebut. Adapun bunyi dari keputusan presiden tersebut adalah sebagai berikut:















Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 71/ M Tahun 2000
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang     :
a.       Bahwa untuk mewujudkan kemandirian Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA” dari pengaruh Pemerintah, dipandang perlu menyiapkan Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA” yang tidak berpihak secara politik;
b.      Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengangkat Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA” yang baru menggantikan pejabat lama, saudara Parni Hadi;
c.       Bahwa saudara Drs. Mohammad Sobary, MA. Dianggap mampu dan cakap untuk diangkat sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”.
Mengingat       :
1.      Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945;
2.      Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1966 tentang Peraturan Dasar Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”.
Memutuskan:
Menetapkan    :
Pertama:          Memberhentikan dengan hormat Saudara Parni Hadi dari jabatannya sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”, disertai ucapan terima kasih atas pengabdian dan jasa-jasanya selama memangku jabatan tersebut;
Kedua  :          Mengangkat Saudara Drs. Mohammad Sobary. MA. Sebagai Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”;
Ketiga  :          Keputusan presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
                        Salinan Keputusan Presiden ini disampaikan kepada:
1.      Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2.      Ketua Dewan Perwakilan Rakyat;
3.      Ketua Dewan Pertimbangan Agung;
4.      Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
5.      Para Menteri Negara Kabinet periode Tahun 1999-2004;
6.      Para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
7.      Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara di Jakarta.
Petikan Keputusan Presiden ini disampaikan kepada yang bersangkutan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 maret 2000
Presiden Republik Indonesia
Ttd.
Abdurrahman Wahid
Disalin sesuai dengan aslinya:
Sekretaris Kabinet,
Ttd
Marsilam Simandjuntak




2.      Analisis Kasus.

a.       Wewenang Legislatif Presiden.
Sebagaimana diketahui dalam realitasnya kekuasaan presiden dibidang legislatif tidak hanya bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) membuat Undang-undang (UU), tetapi juga secara mandiri dapat membuat/ mengeluarkan produk hukum yang lainnya, yaitu; peraturan pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres).
Kekuasaan Presiden membuat Peraturan Pemerintah didasarkan kepada wewenang yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.” Dalam realitasnya ketentuan pasal ini mempunyai dua tafsir, yaitu; (1) suatu Peraturan Pemerintah hanya dapat dikeluarkan oleh Presiden, apabila dalam salah satu pasal dari Undang-undang tersebut secara tegas mengatakan membutuhkan suatu Peraturan Pemerintah (delegasi), misalnya; Pasal 8 ayat (3) UU 23/ 1997 (UUPLH) yang menyebutkan “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah’. Tafsir ini membawa konsekuensi, apabila suatu Peraturan Pemerintah dikeluarkan oleh presiden tanpa memiliki wewenang delegasi, maka Peraturan Pemerintah tersebut menjadi tidak sah. Dengan demikian berdasarkan tafsir ini ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 tidak secara otomatis memberikan wewenamg delegasi, maka Peraturan Pemerintah setiap dikeluarkan suatu UU. (2) suatu Peraturan Pemerintah dapat saja dikeluarkan meskipun dalam suatu Undaang-undang tidak secara tegas menyebutkan agar diatur lebih lanjut dalam suatu Peraturan Pemeriah. Implikasi dari tafsir ini adalah bahwa suatu Peraturan Pemerintah dapat mereduksi bahkan mencaplok materi muatan dari Undang-undang. Disamping itu, presiden tidak segera tahu pasal-pasal mana saja dari suatu Undang-undang yang memerlukan pengaturan lebih lanjut  dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan wewenang Presiden membuat/ mengeluarkan Keputusan Presiden tidak ditemukan dasar hukumnya dalam UUD 1945. Namun, seperti Prof. A. Hamid. S. Attamimi berpendapat bahwa Keputusan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden Republik Imdonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-undang Dasar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, Presiden adalah pemegang kekuasaan legislatif (dengan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah). Pendapat ini didasarkan kepada pendapatnya Jellinek yang mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti formal mengandung  kekuasaan mengatur (verordnungsgewalt) dan kekuasaan memutus (entscheidungsgewalt), sedangkan pemerintahan dalam arti material mengandung unsur melaksanakan (das element der regierung und das der vollziehung). Selain mengutip pendapatnya Jellinek untuk lebih menguatkan pendapatnya Prof. Hamid juga mengutip pendapatnya Van Vallenhoven yang mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti luas itu meliputi fungsi ketataprajaan (bestuur), keamanan/ kepolisian (politie), dan pengaturan (regeling), sedangkan fungsi peradilan (rechspraak) itu dipisahkan karena adanya wawasan negara berdasar atas hukum.
Dengan adanya kekuasaan Pemerintahan tersebut menurut Prof. Hamid bahwa Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengatur segala sesuatu di Negara Republik Indonesia, hanya saja kekuasaan mengatur ini mempunyai suatu batasan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa apabila Presiden akan membentuk Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan perkataan ini apabila Presiden akan mengatur dengan jalur legislatif, presiden harus mendapatkan persetujuan DPR, yaitu dalam membentuk suatu Undang-undang, sedangkan apabila Presiden hendak mengatur dengan jalur eksekutif dapat dilaksanakan dengan pembentukan suatu Keputusan Presiden sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1)UUD 1945.
Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan suatu Keputusan Presiden tidak dapat lahir dari “perut” Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 atau yang disebut dengan wewenang atribusi, tetapi juga dapat lahir dari suatu peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi yang dalam hal ini adalah Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) atau yang dikenal dengan wewenang delegasi. Keputusan Presiden yang lahir dari “perut” Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 materi muatannya sulit terkontrol, karena beberapa alasan; (1) untuk mengeluarkannya tidak memerlukan dasar hukum lain, sehingga dapat membawa implikasi muatan materinya dapat bertentangan atau bahkan mencaplok lahan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi; (2) untuk berlakunya tidak memerlukan pesetujuan dari lembaga lain termasuk DPR. Oleh karenanya, Keputusan Presiden jenis ini sangat potensial “dimanfaatkan” untuk melegitimasi kekuasaan atau meminjam istilah Daniel Lev sebagai “kekuasaan oleh hukum” bukan “kekuasaan berdasarkan hukum” yang pertama menunkjuk kepada hukum sebagai suatu sarana kekuasaan, sedangkan yang kedua menunjuk kepada hukum sebagai mengikat kekuasaan. Sementara itu, Keputusan Presiden yang lahir dari wewenang delegasi dalam prakteknya juga tidak selamanya sebagai pengaturan tindak yang secaaara tegas-tegas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang delegasi. Dengan demikian Keputusan Presiden dapat lahir dari 3 (tiga) sumber: (1) berdasarkanwewenang atribusi dari pasal4 ayat (1) UUD 1945; (2) berdasarkan wewenang delegasi yang secara tegas disebutkan dalam suatu UU atau PP; (3) berdasarkan wewenang delegasi yang tidak secara tegas disebutkan dalam suatu UU atau PP. Keadaan ini sangat potensial melahirkan hukum yang tidak adil, hukum yang hanya mementingkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja, yang pada gilirannya hukum menjadi kehilangan substansinya, seperti yang disinyalir Lev diatas.
Ditinjau dari segi materi muatannya baik Keputusan Presiden yang lahir dari wewenang atribusi (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945) dan yang lahir dari wewenang delegasi (pelimpahan wewenang dari UU atau PP) dapat dikelompokkan menjadi Keputusan Presiden yang materi muatannya bersifat pengaturan (regeling), misalnya; Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Keputusan Presiden yang materi muatannya bersifat penetapan (beschikking) atau dalam bahasa UU/1986 disebut dengan istilah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).















DAFTAR PUSTAKA
Cahyawati, Dwi Putri. 2011. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. PT. Gramata Publishing; Jakarta
Harahap, Zairin. 1997. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
https://irvanogie.wordpress.com/2013/09/10/501/
http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/kompetensi-peradilan-tata-usaha-negara.html